Faktanya, pementasan sebuah dongeng dianggap sebagai bagian integral dari definisi cerita rakyat. Ketika kisah-kisah ini diceritakan, dan berpindah antarbudaya, motif-motif yang dapat dilihat berkembang.
Peruahan itu akhirnya dianalisis dan dikatalogkan oleh para ahli cerita rakyat abad ke-19 (seperti Jakob dan Wilhelm Grimm) yang menuliskannya.
Ketika kisah-kisah ini menjadi literatur tertulis, dan versi-versi berbeda dari sebuah kisah dapat dibandingkan dalam satu halaman.
Oleh karena itu, maka dibuatlah versi-versi standar yang berkorelasi dengan berbagai versi lainnya. Seperti misalnya, kisah seorang gadis muda yang menjadi korban ibu tiri dan saudara tirinya yang jahat.
Kisah seperti itu sebenarnya tidak hanya terdapat dalam kisah Cinderella. Akan tetapi juga terdapat dalam banyak cerita lainnya dengan motif yang sama.
Variasi yang luas dalam cerita-cerita ini menjadi perhatian utama para ahli cerita rakyat di abad ke-19. Mereka menelusuri perkembangan cerita rakyat pada umumnya dan cerita-cerita tertentu secara khusus.
Pada tahun 1910, ahli cerita rakyat Antti Aarne mengembangkan sistem klasifikasi untuk mempermudah pengkajian cerita-cerita ini.
Menurut indeks Aarne-Thompson (dikenal sebagai AT), jenis cerita rakyat terdiri dari tiga kategori. Yaitu Dongeng Hewan, Cerita Rakyat Biasa; dan Anekdot dan Lelucon.
Pada tahun 2004, indeks Aarne-Thompson direvisi oleh ahli cerita rakyat Hans-Jorg Uther yang memperluas cabang indeks untuk menggambarkan kategori lebih lanjut.
Perubahan itu juga memperluas definisi cerita rakyat dalam sejarah Abad Pertengahan untuk mencakup budaya di luar Eropa. Saat ini, indeks Aarne-Thompson-Uther (ATU) mengategorikan cerita rakyat menjadi tujuh kelompok berbeda.
Kategori tersebut yakni, Dongeng Hewan, kisah sihir, kisah religius, kisah realistis, kisah ogre bodoh (atau raksasa atau iblis), anekdot dan lelucon, dan terakhir kisah dengan fomula.