Nationalgeographic.co.id - Tidak seperti karya sastra, cerita rakyat dalam sejarah Abad Pertengahan disebarkan secara lisan. Cerita rakyat dalam sejarah Abad Pertengahan berkembang dan menyebar luas ke seluruh Eropa sepanjang abad ke-5 dan ke-15.
Cerita rakyat memang menjadi ciri umum setiap peradaban, dan cerita semacam itu diceritakan oleh budaya di seluruh dunia selama periode abad pertengahan. Namun frasa “cerita rakyat abad pertengahan” di barat hampir selalu mengacu pada cerita Eropa.
Kata "folklore" atau “cerita rakyat” sendiri diciptakan pada tahun 1846 oleh penulis Inggris William John Thoms. Frasa itu diciptakan untuk menggantikan frasa “popular antiquities” yang merujuk pada cerita dongeng, peribahasa, balada, dan legenda dari masyarakat umum.
Seiring berjalannya waktu, cerita rakyat ditulis dan menjadi statis, tetapi aslinya merupakan cerita dinamis dan selalu berubah yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Cerita rakyat dalam sejarah Abad Pertengahan bersifat dinamis karena berpindah antarbudaya. Perpindahan tersebut terjadi ketika para pedagang membawa cerita tersebut ke negara lain melalui perdagangan.
Saat ini terdapat versi standar cerita rakyat, serta berbagai variasi standar tersebut. Variasi tersebut dipelajari oleh para ahli cerita rakyat dalam upaya untuk lebih memahami budaya yang menghasilkannya.
Cerita-cerita rakyat dari Timur Dekat dan Asia disebarkan secara lisan ke Eropa melalui perdagangan. Disebarkan melalui Jalur Sutra yang menyebabkan beberapa variasi lain.
Perubahan lebih lanjut pada cerita rakyat asli dalam sejarah Abad Pertengahan juga terjadi karena pendongengnya. Para pendongeng yang menyampaikan cerita rakyat sering menghiasi sebuah cerita untuk audiens tertentu.
Cerita rakyat terus menjadi media hiburan yang populer saat ini dan telah dijadikan bahan sumber oleh perusahaan film dan televisi, serta penulis zaman modern.
Jenis-Jenis Cerita Rakyat
Kisah-kisah yang disusun (atau setidaknya disebarkan secara populer) di Eropa pada masa itu dianggap sebagai Cerita Rakyat Abad Pertengahan. Itu adalah periode waktu antara Tahun 476 (jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat) dan 1453 (jatuhnya Kekaisaran Bizantium Timur)
Berbeda dengan sastra yang merupakan karya tertulis yang disampaikan oleh seorang pengarang kepada khalayak yang melek huruf, cerita rakyat disampaikan secara lisan dan pendongeng bebas membumbui cerita tersebut untuk khalayak tertentu.
Faktanya, pementasan sebuah dongeng dianggap sebagai bagian integral dari definisi cerita rakyat. Ketika kisah-kisah ini diceritakan, dan berpindah antarbudaya, motif-motif yang dapat dilihat berkembang.
Peruahan itu akhirnya dianalisis dan dikatalogkan oleh para ahli cerita rakyat abad ke-19 (seperti Jakob dan Wilhelm Grimm) yang menuliskannya.
Ketika kisah-kisah ini menjadi literatur tertulis, dan versi-versi berbeda dari sebuah kisah dapat dibandingkan dalam satu halaman.
Oleh karena itu, maka dibuatlah versi-versi standar yang berkorelasi dengan berbagai versi lainnya. Seperti misalnya, kisah seorang gadis muda yang menjadi korban ibu tiri dan saudara tirinya yang jahat.
Kisah seperti itu sebenarnya tidak hanya terdapat dalam kisah Cinderella. Akan tetapi juga terdapat dalam banyak cerita lainnya dengan motif yang sama.
Variasi yang luas dalam cerita-cerita ini menjadi perhatian utama para ahli cerita rakyat di abad ke-19. Mereka menelusuri perkembangan cerita rakyat pada umumnya dan cerita-cerita tertentu secara khusus.
Pada tahun 1910, ahli cerita rakyat Antti Aarne mengembangkan sistem klasifikasi untuk mempermudah pengkajian cerita-cerita ini.
Menurut indeks Aarne-Thompson (dikenal sebagai AT), jenis cerita rakyat terdiri dari tiga kategori. Yaitu Dongeng Hewan, Cerita Rakyat Biasa; dan Anekdot dan Lelucon.
Pada tahun 2004, indeks Aarne-Thompson direvisi oleh ahli cerita rakyat Hans-Jorg Uther yang memperluas cabang indeks untuk menggambarkan kategori lebih lanjut.
Perubahan itu juga memperluas definisi cerita rakyat dalam sejarah Abad Pertengahan untuk mencakup budaya di luar Eropa. Saat ini, indeks Aarne-Thompson-Uther (ATU) mengategorikan cerita rakyat menjadi tujuh kelompok berbeda.
Kategori tersebut yakni, Dongeng Hewan, kisah sihir, kisah religius, kisah realistis, kisah ogre bodoh (atau raksasa atau iblis), anekdot dan lelucon, dan terakhir kisah dengan fomula.
Setiap cerita rakyat diberi nomor (contoh: ATU 101) untuk referensi dan perbandingan dengan cerita rakyat lainnya.
Namun harus diingat, bahwa “cerita rakyat” tidak hanya berlaku pada dongeng, tetapi juga pada aspek budaya apa pun yang disebarkan secara lisan.
Akan tetapi, cerita rakyat juga berlaku untuk setiap aspek budaya yang disampaikan secara lisan, dan dapat sama-sama berlaku untuk teknik dan metode dalam kerajinan kulit, logam, atau pembuatan pakaian. Seperti halnya legenda, balada, dan peribahasa.
Meski begitu, istilah ini biasanya dipahami merujuk pada cerita-cerita yang termasuk dalam atau mendekati salah satu dari tujuh kategori Indeks ATU.
Lebih lanjut, karena komposisi dan penampilan cerita rakyat sangat berubah-ubah, kategori-kategori ini harus dipahami sebagai perkiraan.
Cerita yang disebut "kisah formula" dapat memiliki unsur agama atau sihir yang signifikan dan bisa saja menjadi "kisah keagamaan" atau "cerita sihir".
Hanya saja, cerita itu mengikuti pola yang jelas, seperti misalnya seorang karakter bersikeras bahwa suatu hal harus terjadi sebelum hal lain dapat terjadi, dan seterusnya.
Demikian pula halnya dengan cerita rakyat tentang binatang yang mungkin mempunyai pesan keagamaan. Akan tetapi karena tokoh utamanya bukan manusia, maka dongeng tersebut tidak dikategorikan sebagai “kisah keagamaan”.