Nationalgeographic.co.id—Nakba, merupakan peristiwa memilukan bagi bangsa Arab yang telah tinggal bergenerasi di Palestina. Secara harfiah, Nakba berarti adalah "malapetaka" yang kemudian diartikan pengusiran penduduk Palestina pada 15 Mei 1948.
Namun, sejatinya Nakba tidak hanya terjadi pada 1948. Para ahli dan aktivis menyebut peristiwa Nakba masih bergulir hingga hari ini, seiring dengan perpindahan kepemilikan lahan dan perluasan kawasan kependudukan Israel di tanah Palestina.
Sebelum Mandat Britania, Palestina adalah kawasan Mutasarrifat Yerusalem, salah satu provinsi dari Kekaisaran Ottoman. Pada 1917, kawasan ini dikuasai oleh Inggris ketika Kekaisaran Ottoman bubar. Semua masyarakat tinggal di kawasan itu, baik muslim, kristiani, maupun umat Yahudi.
Diketahui pada 1874, terdapat 14.000 orang Yahudi tinggal bersama 426.000 orang Arab di Palestina. Kondisi ini bertolak belakang dengan di Eropa yang memiliki kebencian terhadap bangsa Yahudi (antisemitisme).
Bagi orang Yahudi di Eropa pada abad ke-19, agar menghentikan rasialisme dan antisemitisme, perlunya negara khusus Yahudi. Pandangan ini muncul dari jurnalis Austria-Hungaria Theodor Herzl yang dianggap sebagai bapak zionisme pada 1896. Dia bahkan terpilih menjadi presiden Kongres Zionis Pertama yang diadakan di Basel, Swiss.
Zionisme adalah ideologi kebangsaan orang Yahudi. Berangsur-angsur, orang Yahudi berangkat ke Palestina selama masa akhir Kekaisaran Ottoman dan status Mandat Britania di Palestina berlaku. Migrasi ini juga didorong akibat penganiayaan yang dialami bangsa Yahudi di Eropa dan Rusia.
Para pimpinan Zionis, termasuk Herzl, memikirkan cara agar negara Yahudi bisa berdiri di Palestina, sementara kawasan itu sudah diduduki bergenerasi. Mereka memikirkan untuk melakukan "pemindahan" masyarakat yang sudah tinggal di sana. Tindakan ini harus dilakukan secara hati-hati.
"Kita akan mencoba untuk menyemangati penduduk yang tidak punya uang melintasi perbatasan dengan menyediakan lapangan kerja bagi mereka di negara-negara transit, sambil menolak pekerjaan apa pun di negara kita sendiri," ungkap Herzl, dalam buku catatannya pada Juni 1895.
Gerakan Zionisme juga memikirkan upaya mewujudkan negara Yahudi dengan kepemilikan lahan. Pada 1901, Kongres Zionis Kelima mengesahkan JNF (Jewish National Fund) yang kerap menjadi aktor perampasan lahan dan hak milik warga Palestina.
Tanah yang dikuasai umumnya adalah milik petani kecil Arab yang telah dimiliki keluarganya selama bergenerasi. Gerakan ini bermaksud untuk "menebus" tanah tersebut untuk membuka jalan bagi koloni Yahudi Eropa.
JNF menjadi kunci untuk memperoleh tanah untuk perusahaan Zionis di Palestina. Sejak lama, mereka membeli tanah dari pemilik tanah besar Kekaisaran Ottoman yang tinggal di luar negeri.
Ketika komunitas Yahudi di Palestina berkembang, pemindahan penduduk menjadi fokus utama dalam pertemuan Yishuv (lembaga eksekutif penduduk Yahudi) pada 1938. Arthur Ruppin yang merupakan kepala Yishuv bahkan menyatakan:"Saya tidak percaya pada pemindahan perorangan. Saya percaya pada pemindahan seluruh desa."
Inilah yang menjadi latar belakang peristiwa Nakba pecah di kemudian hari. Instruksi tersebut dilakukan ketika Israel berdiri sejak 1948 sampai hari ini.
Perubahan lahan semakin marak saat Perang Dunia I, ketika Timur Tengah menjadi kawasan pertempuran untuk menjatuhkan Kekaisaran Ottoman. Inggris yang berkuasa di Palestina dan kawasan lainnya di Levant, berjanji untuk masa depan bangsa Arab dan Yahudi zionis.
Inggris berjanji untuk mendirikan negara Arab setelah Komisarsi Tinggi Inggris di Mesir Sir Henry McMahon bertukar surat dengan Syarif Makkah Husain bin Ali. Bangsa Arab sudah sejak lama menghendaki kemerdekaan dari Kekaisaran Ottoman yang juga musuh Inggris dalam Perang Dunia I.
Kepada komunitas Yahudi, Menlu Arthur James Balfour berjanji dengan Baron Rothschild yang kelak menjadi Deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour baru memperkenalkan national home (rumah bangsa) Yahudi di Palestina dan belum sah dianggap sebagai "negara Yahudi".
Akan tetapi, selama Palestina berada di bawah Inggris (1923—1948), gelombang migrasi bangsa Yahudi Eropa semakin tinggi, terutama saat Perang Dunia II pecah.
Perpindahan ini membuat gerakan zionis mengambil alih banyak lahan bangsa Arab Palestina. Hal ini memicu konflik antaretnis dan antaragama selama dekade 1920-an. Ketegangan memuncak pada 1930-an antara bangsa Arab, Yahudi, dan Inggris, terlebih pada 1936.
Palestina pun semakin panas dengan gencarnya teror oleh kelompok milisi zionis di Palestina. Mereka menghendaki berdirinya negara Yahudi di seluruh wilayah Palestina, bahkan sebagian negara Arab tetangga seperti Yordania.
Teror ini gencar selama Mandat Britania di Palestina oleh Irgun. Oleh Inggris dan AS, kelompok ini dicap sebagai organisasi teroris. Selama 1937—1948, Irgun melakukan pengeboman dan serangan lainnya di Palestina yang menyebabkan tewasnya ratusan warga sipil. Salah satu yang popular adalah pengeboman Hotel King David di Yerusalem pada 1946.
Selain Irgun, kelompok lainnya adalah Lehi yang didirikan oleh Abraham Stern pada 1940. Serangan kelompok ini menyasar orang Inggris dan Arab. Kelompok Lehi bahkan membunuh Menteri Residen Inggris untuk Timur Tengah Lord Moyne pada 1944.
Kedua kelompok bersenjata ini bersama menjadi aktor dalam penyerangan desa Deir Yasin yang dekat dengan Yerusalem pada 16 April 1948. Serangan Deir Yasin ini mendapat berbagai tanggapan, bahkan oleh ilmuwan Albert Einstein mengecam aksi terorisme tersebut.
Pembantaian di Deir Yasin merupakan salah satu rangkaian bersejarah dari peristiwa Nakba. Pengusiran penduduk juga dilakukan di Haifa, Jaffa, dan Yerusalem. Pembantaian dan pengusiran ini membuat warga Palestina mengungsi ke negara-negara lain, sementara tanah mereka dikuasai kalangan zionis yang berupaya mendirikan Israel.
Ketegangan ini bahkan mendapat perhatian oleh PBB. Pada November 1947, Majelis Umum PBB menyimpulkan satu-satunya cara untuk mewujudkan perdamaian adalah membagi dua populasi menjadi "negara Arab dan Yahudi yang merdeka".
Banyak kelompok Arab yang menolak mungkin akibat perselisihan yang sudah terjadi. Kondisinya semakin rumit ketika kalangan zionis memproklamasikan kemerdekaan Israel pada 15 Mei 1948 yang diklaim sesuai dengan resolusi PBB.
Konflik ini memicu ketegangan antara Israel yang baru berdiri dengan negara-negara Arab tetangganya. Kedua belah pihak berhadapan dalam Perang Arab-Israel 1948 atau disebut juga sebagai Perang Arab-Israel Pertama.
Bagaimanapun, perang ini menyebabkan warga Palestina semakin terusir dan menjadi pengungsi. Israel memberi kesempatan mereka menjadi warga negaranya, tetapi sebagian besar tanah dilucuti.
Dari 1948 sampai Perang Enam Hari 1967, sekitar 172.973 hektare tanah milik warga Palestina diambil alih. Ratusan ribu warga Palestina menjadi pengungsi dengan nasib yang tidak jelas. Nestapa bagi warga Palestina lainnya yang masih memiliki tanah, masih menanti setelah 1967 sampai hari ini.