Nationalgeographic.co.id—Perang Enam Hari 1967 bukan hanya peristiwa singkat dan berdarah antara negara-negara Arab dan Israel. Peristiwa itu menyebabkan banyak warga Palestina yang telah bergenerasi tinggal di sana dengan nasib yang tidak jelas.
Pencaplokan kawasan dan pembangunan daerah ini dapat dirujuk kembali ke tahun 1948 dan 1967, di mana Israel berdiri. Politisi sayap kanan Israel sering mengajukan tuntutan untuk segera mencaplok Gaza dan Palestina.
Israel menyadari bahwa pencaplokan ini mungkin akan berimbas pada hukum internasional, dan mengharuskan mereka memberikan kewarganegaraan kepada warga Palestina. Setelah Perang Enam Hari, Israel menduduki Gaza dan Tepi Barat sebagai imbas dari gerakan maju militer melawan negara-negara Arab.
Sebelumnya, Jalur Gaza dan Tepi Barat merupakan milik negara tetangga seperti Mesir dan Yordania. Kemenangan Israel membuat pemerintahannya mengizinkan ratusan ribu pemukim untuk mengajukan klaim tanah, sebagaimana yang terjadi pada 1948.
PBB secara resmi mengecam kebijakan ini dan dinilai melanggar hukum internasional usai perang. Sebab, warga Gaza dan Palestina merupakan korban perang yang seharusnya dilindungi hak-haknya.
Bagaimanapun, pembangunan warga Israel berjalan sedikit demi sedikit. Komunitas-komunitas baru terbentuk dan dijadikan sebagai tanah negara pada dekade berikutnya, serta tidak jarang menjadi konflik.
Tidak hanya tanah, Israel juga menguasai sumber air di kawasan Gaza dan Tepi Barat. Masyarakat Arab yang sudah lama tinggal dan bekerja sebagai petani, pada akhirnya kehilangan mata pencaharian.
Dalam sebuah studi tahun 2013 di The Arab Studies Journal, Joel Beinin meneliti tentang masyarakat Palestina dengan kependudukan Israel. Dia adalah profesor sejarah di Stanford University.
Melalui makalahnya bertajuk “Mixing, Separation and Violence in Urban Spaces and The Rural Frontier in Palestine", Beinin melihat pemukiman Israel di kawasan Palestina masih berkaitan dengan permasalahan tanah pada masa sebelumnya.
Saat Palestina masih berada di dalam Kekaisaran Ottoman dan Mandat Britania setelah Perang Dunia I, pemeluk agama Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan di berbagai kota Palestina. Mereka bahkan hidup bersama untuk urusan bisnis di daerah Levant yang tengah memasuki era industri.
Namun semua berubah ketika Perang Dunia II, saat imigran Yahudi Zionis datang. Mereka mencoba untuk mengubah berbagai kota dan berusaha menciptakan kawasan tanah air Yahudi. Hal itu sangat tampak dalam proyek pemukiman Israel setelah tahun 1967.
Sosiolog Northwestern University Janet Abu-Lughod juga punya pendapat yang samatentang peralihan lahan. Dia menerangkannya dalam makalah bertajuk "Israeli Settlements in Occupied Arab Lands: Conquest to Colony" di Journal of Palestine Studies tahun 1982.
Pada awal berdiri, Israel telah memanfaatkan pengalaman perencanaan kota di Israel antara 1948 dan 1967. Caranya adalah mengurangi konsentrasi warga Arab, sehingga dapat mendistribusikan pemukimannya di wilayah pendudukan.
Sayangnya, ada banyak tanah marginal di Tepi Barat yang masih belum terdaftar atau masih berstatus tanah wakaf. Hal ini membuat Israel dapat dengan mudah mengeklaimnya dengan alasan penyitaan.
Dalam makalahnya, Beinin menulis, "Masyarakat Yahudi secara eksklusif menghuni semua pemukiman—perkotaan, pinggiran kota, atau pedesaan, yang diilhami secara ideologis atau ekonomi—meskipun orang-orang Palestina sering kali dipekerjakan di pemukiman tersebut, bahkan untuk membangun pemukiman tersebut".
"Semua orang Yahudi adalah warga negara Israel yang memiliki hak lebih besar dan tunduk pada hukum dan norma yang berbeda dibandingkan tetangga mereka yang bukan warga negara," lanjutnya.
Belum lagi, Israel membangun tembok pemisah pada 2002. Tembok ini memanjang 670 kilometer di Tepi Barat dan mengelilingi blok pemukiman utama Israel. Perbatasan dengan Gaza telah dibangun tembok lebih dahulu pada 1995.
Alasannya, tembok pemisah ini untuk melindungi penduduk Israel dari ancaman masyarakat Palestina setelah berkaca dari kejadian intifada.
Sejak 1967 hingga 2017, diperkirakan ada sekitar 413,400 warga Israel yang bermukim di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem Timur. Terus bertambahnya penduduk Israel di kawasan Tepi Barat, menyebabkan warga Palestina terpecah-pecah dan status tanahnya melemah.
Kondisi ini yang menyebabkan batas-batas negara Palestina semakin sulit ditentukan sampai saat ini. Pihak militer Israel juga selalu bersiaga di kawasan sipil untuk mempertahankan tanah. Selain itu, dampaknya bisa bergesekan antara penduduk Palestina dan Israel yang tidak jarang pecah, serta berakhir dengan kontak senjata api.
Penduduk Palestina bahkan yakin, aktivitas ini adalah wujud bagi Israel menginginkan seutuhnya Tepi Barat sebagai teritorinya. Padahal sebelumnya, Israel sudah kerap beberapa kali berdamai dengan otoritas Palestina dalam ragam perjanjian.
Salah satu bentuk pergesekan tentang peralihan tanah terjadi pada 2021. Saat itu pengadilan Israel memerintahkan beberapa penduduk Palestina mengosongkan rumahnya di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur, dekat Masjid Al Aqsa.
Masyarakat yang tinggal di Sheikh Jarrah adalah pengungsi Palestina. Tanahnya diberikan oleh PBB setelah mereka melarikan diri dari rumah asalnya pada saat Israel berdiri pada 1948. Akibatnya, masyarakat Palestina protes di jalanan sampai terjadi bentrokan keras dengan kepolisian Israel.
Israel punya alasan untuk menguasai Sheikh Jarrah. Perusahaan Nahalat Shimon mengeklaim bahwa sebagian tanah di lingkungan tersebut adalah milik keluarga Yahudi pada abad ke-19. Israel pun mewujudukan penguasaan lahan sebagai upaya anekasasi Yerusalem Timur sejak 1967.
Sampai saat ini, upaya kependudukan masih buntu dan meninggalkan konflik. Beberapa politisi dunia, termasuk AS dan Uni Eropa justru lebih sering berpihak kepada Israel. Situasi ini membuat semakin buram batas-batas kependudukan Israel dan Palestina yang sudah disepakati.
Source | : | Vox,New Arab,JSTOR,JSTOR Daily,B'tselem |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR