Di Tengah Era Robot dan Kecerdasan, Kinerja Manusia Justru Gegabah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 19 Oktober 2023 | 13:00 WIB
Robot dan kecerdasan buatan dapat membantu pekerjaan manusia. Alih-alih meningkatkan kinerja, manusia justru bekerja dengan gegabah dengan kehadiran mereka. (Pavel Danilyuk/Pexels)

Nationalgeographic.co.id—Tibalah kita pada dekade ketiga abad ke-21, di mana robot dan kecerdasan buatan berperan penting sebagai alat yang dapat membantu berbagai urusan manusia. Manfaat keberadaan robot dan kecerdasan buatan, tentunya dapat meringkas berbagai pekerjaan.

Misalnya, jika Anda bekerja sebagai akuntan, tidak perlu repot lagi menghitung data keuangan dalam statistik. Berbagai fitur robot dapat membantu, bahkan kecerdasan buatan dapat mengubahnya menjadi grafik dengan desain yang menarik untuk dipresentasikan ke atasan Anda.

Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa ada hubungan sosial antara manusia dan robot yang tampak seperti tim kerja untuk menghasilkan pekerjaan.

Akan tetapi, para ahli merasa skeptis bahwa keberadaan robot dan kecerdasan buatan yang dapat membantu pekerjaan agar lebih produktif, justru membuat manusia menjadi pemalas. Dalam situasi tanpa robot dan kecerdasan buatan, misalnya, manusia yang bekerja secara tim terkadang lebih santai dan membiarkan rekannya melakukan pekerjaan. 

Para ahli menyebut kebiasaan 'kemalasan sosial' bisa terjadi ketika seseorang dalam lingkungan memiliki kontribusi yang tidak diperhatikan. Kemalasan muncul karena telah menyesuaikan diri dengan kinerja anggota tim lainnya.

Lantas, bagaimana dengan hubungan kerja robot, kecerdasan buatan, dan manusia? Baru-baru ini, sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Robotics and AI mengungkapkan bahwa pekerja manusia menjadi gegabah saat pekerjaannya lebih optimal dengan robot . Penelitian tersebut bertajuk "Lean back or lean in? exploring social loafing in human–robot teams"

“Bekerja bersama dapat memotivasi orang untuk bekerja dengan baik namun juga dapat mengakibatkan hilangnya motivasi karena kontribusi individu tidak begitu terlihat," kata Dietlind Helene Cymek, penulis pertama makalah dari Institute of Psychology and Ergonomics, Berlin Technical University.

"Kami tertarik apakah kami juga dapat menemukan efek motivasi seperti itu ketika rekan tim kami adalah robot,” lanjutnya dalam laman Frontiers Science News. 

Dalam eksperimen tersebut, 42 peserta terlibat dalam simulasi tugas, yakni memeriksa kesalahan pada papan sirkuit. Gambaran papan sirkuit itu diberikan kepada para peserta yang buram.

Agar dapat melihatnya lebih jelas, para peserta harus menggunakan alat seperti tetikus yang berada di atasnya. Setelah memeriksa, mereka harus menandai kesalahan yang ada pada papan sirkuit. Kemudian, para peserta diminta menilai sendiri upaya yang mereka lakukan, seberapa bertanggung jawab atas tugas yang mereka lakukan, dan menjelaskan caranya.

Sebelum pekerjaan dimulai, sebagian para dari para peserta diberi tahu oleh para peneliti bahwa pekerjaan mereka sebenarnya sudah dilukan oleh robot bernama Panda. Mereka tidak terlibat dalam kerja sama langsung dengan robot ini, tetapi mengetahui keberadaan bentuk dan kemampuannya.

Para peneliti mengamati, pada awalnya semua peserta tidak berbeda dalam pengerjaan pekerjaan, termasuk dalam waktu yang dihabiskan untuk memeriksa papan sirkuit dan area yang dicari.

Perbedaannya justru terlihat jika diamati secara rinci terkait tingkat kesalahannya. Kelompok yang mengetahui bahwa pekerjaannya telah dilakukan oleh Panda lebih sedikit menemukan kesalahan pada papan sirkuit. Padahal kelompok ini telah melihat Panda yang berhasil menemukan banyak kesalahan pada papan sirkuit, sebelum pekerjaan oleh mereka dilakukan.

“Sangat mudah untuk melacak arah pandangan seseorang, namun lebih sulit untuk mengetahui apakah informasi visual tersebut cukup diproses pada tingkat mental,” kata Linda Onnasch, penulis senior studi dari Berlin Technical University.

Para peneliti menilai bahwa para peserta ini mencerminkan efek "melihat tetapi tidak memerhatikan". Kelompok peserta ini lebih mengandalkan apa yang dikerjakan Panda, tetapi kurang terlibat secara mental dalam bekerja. Hal ini membuat kelompok tersebut bekerja dengan gegabah tanpa memerhatikan apa yang telah dikerjakan robot.

Dalam evaluasi para peserta, mereka mengira telah memberikan perhatian yang setara dalam mencari kesalahan pada papan sirkuit. Mereka secara tidak sadar berasumsi bahwa Panda tidak melewatkan satu pun kesalahan untuk ditandai.

Temuan ini mengindikasikan bahwa pekerjaan seperti ini punya dampak pada keselamatan kerja. “Dalam giliran pekerjaan yang lebih lama, ketika tugas bersifat rutin dan lingkungan kerja hanya memberikan sedikit pemantauan kinerja dan umpan balik, hilangnya motivasi cenderung jauh lebih besar," kata Onnasch.

"Di bidang manufaktur secara umum, namun khususnya di bidang keselamatan di mana pemeriksaan ulang merupakan hal yang biasa, hal ini dapat berdampak negatif pada hasil kerja,” lanjutnya.

Meski demikian, masih belum dapat dipastikan apakah kemalasan sosial benar-benar terjadi. Pasalnya situasi dalam eksperimen ini, para peserta menyadari bahwa sedang dalam pengawasan para peneliti.

Untuk mengungkapnya, para ilmuwan yang memerhatikan psikologis pekerja yang mengandalkan robot atau kecerdasan buatan harus diamati di lingkungan dunia kerja nyata).  "Perubahan dalam upaya mental jauh lebih sulit diukur, namun perlu diminimalkan untuk memastikan kinerja yang baik," terang para peneliti dalam makalah.