Padahal, sejatinya, Peradaban Lembah Indus yang maju menjadi alasan mengapa bangsa penggembala nomaden bermigrasi dan mengadu nasib. Mereka telah mengunjungi wilayah itu sebelumnya dan hidup berdampingan dalam waktu bertahap.
Peradaban Lembah Indus sendiri mengalami kemunduran bukan karena kedatangan bangsa Arya. Ada berbagai faktor dalam kependudukan mereka, termasuk perubahan lingkungan dan faktor sosial. Kemunduran Peradaban Lembah Indus mengakibatkan beberapa kota ditinggalkan, dan terputusnya hubungan perdagangan dengan peradaban di Timur Tengah.
Alih-alih menjajah, beberapa sejarawan justru berpendapat bahwa bangsa Arya datang justru mengisi kekosongan yang ditinggalkan. Pada wilayah bekas Peradaban Lembah Indus itu, bangsa Arya membawa bahasa, teknik pertanian dan peternakan mereka yang mulai berkembang.
Bangsa Arya dalam catatan sejarah lain
Akan tetapi, pada masa selanjutnya hanya ada sedikit sejarah dunia yang menyebut bangsa Arya di Lembah Indus. Penyebutannya dalam catatan sejarah juga sering meragukan keakuratannya tentang bangsa ini.
Sedikitnya arsip tentang bangsa Arya yang konkret, menyulitkan sejarawan memahami karakteristik mereka dalam sejarah dunia. Bagaimanapun, setidaknya mereka berkembang dari masa ke masa. Oleh sejarawan Yunani Herodotus, bangsa Arya disebutkan sebagai penduduk Media (kawasan di antara Armenia dan Iran) yang mengganti kemudian berganti namanya.
Ada pula dalam agama Zoroaster, 'Arya' disebutkan sebagai salah satu kawasan (Airyana Vaejah) yang berarti "hamparan Arya" sebagai tanah air mitos masyarakat Iran dan pusat dunia. Bahkan, raja-raja Persia seperti Darius dan Xerxes digambarkan sebagai bangsa Arya asli.
Asal ras Arya dalam ideologi Nazi
Dalam keilmuan, bangsa Arya lebih didefinisikan dengan istilah Indo-Iran berdasarkan penuturan bahasanya. Lebih luas lagi, definisi ini meluas untuk merujuk pada bahasa yang dituturkan masyarakat di sekitar Indo-Eropa.
Saat ini, istilah yang lebih tepatnya adalah subkategori rumpun bahasa Proto-Indo-Eropa (PIE). Subkategori bahasa masyarakat ini mencakupi Proto-Celtic, Proto-Baltik-Slavik, Proto-Yunani, dan Proto-Indo-Iran. Bahasa Indo-Arya justru berada dalam Proto-Indo-Iran yang tidak ada berbeda dengan klaim Nazi.
Gagasan tentang Arya yang dipropagandakan oleh Nazi berasal dari teori tentang asal-usul bangsa Eropa kuno. Disebutkan bahwa orang Eropa kuno berasal dari wilayah utara dan suka menaklukkan berbagai kawasan Eurasia. Anggapan ini kemudian mengidentikkan bahwa mereka adalah bangsa Arya.
Namun, teori ini sangat kurang dalam bukti ilmiah dan kurang konkret. Banyak antropolog dan sejarawan modern membantah teori ini. Alih-alih, orang kulit putih, mungkin lebih cocok bila penakluk dari utara mungkin adalah suku-suku Mongol seperti Uighur, Xiongu, atau Hun. Namun, bangsa Mongol tidak terkait dengan rumpun Indo Eropa.
Bagaimanapun, teori sejarah dunia tentang bangsa Eropa kuno adalah bangsa Arya telah tersebar luas, dan kemudian tertanam secara ideologi. Arti kata Arya menjadi luas dan kacau, terutama saat disalahgunakan dalam politik.
Istilah Arya menjadi memiliki arti sebagai ras kulit putih yang dinilai paling unggul oleh masyarakat Eropa. Pasalnya, Arya digadang-gadangkan sebagai ras yang pernah menguasai Eurasia. Dengan demikian oleh masyarakat superioritas kulit putih berpikir bahwa kemampuan mereka sangat mungkin untuk menguasai dunia, dan memurnikan ras.
Padahal, pemahaman Arya ini sebagai bangsa kulit putih berasal dari propaganda ilmiah semu, terutama oleh Nazi. Propaganda ini berkembang untuk mencapai tujuan mereka yang pada akhirnya mengarah pada Holocaust.