Nationalgeographic.co.id—Pertempuran Pelusium pada tahun 525 SM merupakan pertarungan yang menentukan antara Firaun Psametik III dan raja Persia Cambyses II. Pertempuran ini menghasilkan penaklukan Persia pertama atas Mesir.
Menurut Joshua J. Mark, dilansir dari laman World History, “kemenangan itu lebih disebabkan oleh pengetahuan Cambyses II tentang budaya Mesir alih-alih rekornya sebagai komandan lapangan.”
Pertempuran ini dimenangkan melalui strategi yang sangat tidak biasa dari pihak Cambyses II: penggunaan hewan sebagai sandera, terutama kucing.
Bastet & Kucing-kucingnya
Kucing adalah hewan peliharaan yang populer di Mesir kuno dan terkait erat dengan dewi Bastet. Ia muncul dalam seni Mesir sebagai wanita berkepala kepala kucing atau sebagai kucing yang sedang duduk dengan pose agung.
Dalam kepercayaan Mesir Kuno, Bastet dipercaya melindungi rumah tangga dari roh jahat dan penyakit, terutama penyakit yang menyerang wanita dan anak-anak. Ia juga berperan dalam kehidupan akhirat seseorang.
“Bastet sangat populer di seluruh Mesir baik di kalangan pria maupun wanita sejak Dinasti ke-2 (sekitar 2890 - sekitar 2670 SM) dan seterusnya, dengan pemujaannya berpusat di kota Bubastis setidaknya sejak abad ke-5 SM,” kata Mark.
Di antara banyak cara yang dapat dilakukan orang untuk menyakiti sang dewi adalah dengan menyakiti salah satu kucingnya.
Kucing sangat dihormati di Mesir kuno. Hukuman bagi yang seseorang yang berani membunuh kucing adalah kematian.
seperti yang dilaporkan sejarawan Yunani, Herodotus, orang Mesir yang terjebak di sebuah kebakaran akan menyelamatkan kucing-kucing sebelum menyelamatkan diri mereka sendiri.
Herodotus mengatakan, lebih lanjut, "Semua penghuni rumah yang kucingnya mati secara alami akan mencukur alisnya" sebagai tanda kesedihan mereka. Kucing-kucing juga dimumikan dengan mengenakan perhiasan seperti halnya manusia.
Penghormatan orang Mesir terhadap hewan tidak hanya terbatas pada kucing saja. Mumi hewan peliharaan dari berbagai jenis telah ditemukan, termasuk rusa, babon, burung, dan bahkan ikan.
Mesir pada Periode Menengah Ketiga
Periode Kerajaan Baru Mesir ( sekitar 1570 - sekitar 1069 SM ) adalah masa kemakmuran dan pertumbuhan di setiap bidang peradaban. Ini adalah zaman Kerajaan Mesir di mana perbatasannya meluas dan perbendaharaan negara bertambah.
Namun, kemewahan dan kesuksesan era ini tidak dapat bertahan lama. Pada sekitar tahun 1069 SM, kekaisaran mulai runtuh dan negara ini memasuki apa yang kemudian disebut oleh para ahli sebagai Periode Menengah Ketiga Mesir (1069 - 525 SM).
Masa ini ditandai dengan kurangnya pemerintah pusat yang kuat, perang saudara, dan ketidakstabilan sosial.
Pada akhir Dinasti ke-22, Mesir terpecah belah oleh perang saudara. Pada masa Dinasti ke-23, negara ini terbagi antara raja-raja yang memerintah sendiri, dari Herakleopolis, Tanis, Hermopolis, Thebes, Memphis, dan Sais.
Dinasti ke-24 dan ke-25 kemudian disatukan di bawah kekuasaan Nubia. Tetapi negara ini tidak cukup kuat untuk menahan serangan bangsa Asyur yang pertama kali dipimpin oleh Esarhaddon pada tahun 671/670 SM, dan kemudian oleh Ashurbanipal pada tahun 666 SM.
Pada abad ke-7 SM, Kekaisaran Asyur runtuh dan Mesir memperoleh kembali sebagian besar kemerdekaannya. Meskipun bangsa Asyur telah diusir dari negara tersebut, Mesir tidak memiliki sumber daya untuk menahan kedatangan bangsa Persia.
Cambyses II & Amasis
Firaun Amasis dari Dinasti ke-26 adalah salah satu penguasa terbesar pada periode ini. Ia berhasil mengembalikan sebagian kejayaan dan prestise militer Mesir. Namun ia harus menghadapi invasi Persia setelah menghina Cambyses II.
“Cambyses II telah menulis surat kepada Amasis untuk meminta salah satu putrinya sebagai istri, tetapi Amasis, yang tidak ingin memenuhinya, mengirim putri pendahulunya, Apries,” kata Mark.
Wanita muda itu merasa terhina dengan keputusan tersebut. Ketika dia tiba di istana Cambyses II, dia mengungkapkan identitas aslinya. Cambyses II menuduh Amasis mengirimkan 'istri palsu' dan mengerahkan pasukannya untuk berperang.
Meletusnya Pertempuran Pelusium
Sebelum perang benar-benar terjadi, Amasis meninggal dan meninggalkan negara itu di tangan putranya, Psammetichus III.
Psammetichus III adalah seorang pemuda yang sebagian besar hidup di bawah bayang-bayang pencapaian besar ayahnya. Ia hampir tidak diperlengkapi untuk menangkis kekuatan musuh.
Meskipun demikian, ketika mendengar berita mobilisasi Persia, dia melakukan yang terbaik untuk membangun pertahanan serta mempersiapkan diri untuk berperang.
Dengan berbagai strategi yang telah disiapkan, Firaun muda yang baru memerintah selama enam bulan pada saat itu merasa yakin bahwa ia dapat menangkis serangan lawan. Namun, apa yang tidak diperhitungkan oleh Psammetichus III adalah kelicikan Cambyses II.
Penulis abad ke-2 Masehi, Polyaenus, menggambarkan pendekatan Cambyses II dalam bukunya. Polyaenus menceritakan bagaimana orang Mesir berhasil menahan laju Persia ketika Cambyses II tiba-tiba mengubah taktik.
Raja Persia, yang mengetahui penghormatan orang Mesir terhadap kucing, meminta gambar Bastet dilukis di perisai tentaranya. Selain itu, "di depan garis depan pasukannya terdapat anjing, domba, kucing, burung ibis, dan hewan apa pun yang disayangi oleh orang Mesir."
Orang-orang Mesir di bawah Psametik III, melihat dewi kesayangan mereka sendiri di atas perisai musuh, dan takut untuk bertempur agar tidak melukai hewan-hewan yang digiring.
Dikatakan bahwa Cambyses II, setelah pertempuran, melemparkan kucing ke wajah orang-orang Mesir yang kalah sebagai ejekan.
Dengan demikian berakhirlah kedaulatan Mesir karena dicaplok oleh Persia dan, selanjutnya, berpindah tangan beberapa kali sebelum akhirnya menjadi provinsi Roma.