Rekonstruksi Tampang Manusia dari Masa Lampau, Seberapa Akurat?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 6 November 2023 | 17:00 WIB
Figur Homo floresiensis, yang populer dijuluki Mama Flo, tampil dalam pameran bertajuk Commemoration of the 20th Anniversary of Homo floresiensis Discovery. Figur ini merupakan hasil karya seorang paleoartis di Museum of Tokyo, Jepang, berdasarkan temuan arkeologi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Beberapa dekade lamanya, para peneliti terus berusaha mengungkap wajah dari para penguasa termasuk, Firaun Tut dan raja Inggris Henry VII. Hanya saja, upaya rekonstruksi sering kali bias dan kabur karena pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti.

"Tidak ada bukti [ilmiah] yang mengatakan kulit mereka itu lebih putih," kata Rui Diogo salah satu ilmuwan yang mengungkap berbagai bukti bias di jurnal Frontiers in Ecology and Evolution. "Rekonstruksi di masa lalu, kebanyakan tidak memiliki dasar ilmiah."

Bias itu bahkan ada pada rekonstruksi di Smithsonian National Museum of Natural History di Washington. Pada 2021, ilmuwan menemukan bahwa bias pada rekonstruksi tampak pada kulit yang cenderung terang seperti manusia modern Eropa. Padahal spesies tersebut adalah hominid yang telah punah.

Hal ini diamini oleh Susan Hayes, peneliti dari Centre for Archaeological Science di University of Wollongong Australia, ketika hendak merkonstruksi perempuan purbakala. Karya yang dibuatnya adalah rekonstruksi perempuan dari Zaman Batu yang hidup sekitar 13.000 tahun lalu di Thailand.

Rekonstruksi wajah baru dibuat dari data tomografi terkomputasi dari mumi Ramses II yang berusia 3.000 tahun. (Liverpool John Moores University Face Lab)

Hayes mengungkapkan, ada banyak database wajah yang sangat bias. Data-data yang dimiliki masih merupakan gambaran orang yang masih hidup dengan keturunan ras Eropa. Untuk meminimalisasi dampak bias, Hayes dalam jurnal Antiquity tahun 2017, para peneliti harus menggunakan database global dengan subjek dari seluruh dunia.

"Dengan cara ini, Anda menerapkan data paling kuat yang tersedia untuk perkiraan tersebut,” kata Hayes, melansir Live Science. "Sering kali saya akan membandingkan database yang berbeda saat membuat perkiraan."

Bagi Oscar Nilsson, seniman forensik, pematung, dan arkeolog berbasis di Swedia mengatakan bahwa pengungkapan wajah semakin canggih. Para ilmuwan mempertimbangkan teknik ekstraksi dan analisis DNA baru yang membuat rekonstruksi bisa lebih akurat lagi. Penggambarannya bahkan sampai tingkat warna rambut, kulit, dan mata yang lebih akurat.

“Saya pikir DNA telah dan akan terus menjadi faktor penentu dalam rekonstruksi wajah,” kata Oscar Nilsson, dikutip dari Live Science.

Informasi dari DNA ini sangat membantu untuk bisa dikenali. Sebelumnya, keakuratan rekonstruksi bisa berubah karena berbagai kondisi berhubungan dengan tengkorak dan kerangka. Kerusakan bisa menjadi penyebab keakuratan meragukan. 

“Ini seperti mendapatkan kerangka ilmiah—semakin ketat semakin baik—dan dalam kerangka ini saya dapat menggunakan keterampilan artistik untuk memunculkan wajah yang hidup dan dapat dipercaya,” kata Nilsson.

Masalahnya, analisis DNA adalah proses yang mahal. Di satu sisi, tidak selalu memungkinkan untuk menganalisis tulang orang yang sedang direkonstruksi, sehingga kemungkinan besar proses seni untuk mengungkap wajah dan sosok akan menjadi urusan rekonstruksi forensik di masa mendatang. Tentunya, rekonstruksi di masa mendatang memicu perdebatan tentang keakuratannya.