Nationalgeographic.co.id—Bagaimana para ilmuwan tahu paras manusia purba hingga gambar mereka bisa muncul di internet, museum, dan buku pelajaran? Semua itu merupakan hasil analisis para ilmuwan yang kemudian direkonstruksikan oleh seniman agar kita bisa mengetahui kehidupan mereka.
Nyatanya, rekonstruksi yang kita kenal selama ini lebih condong sebagai imajinasi seniman daripada sains. Hal itu dikeluhkan para ilmuwan, sehingga mereka menganalisis seni rekonstruksi yang pernah dilakukan sebelumnya.
Keluhan terkait rekonstruksi yang bias itu dilakukan oleh Ryan M Campbell bersama timnya dalam studi. Studi mereka itu dipublikasikan di Frontiers in Ecology and Evolution pada 26 Februari lalu.
"Sebagian besar didasarkan pada cerita ad hoc yang tidak dapat dipalsukan yang memiliki sedikit atau tidak ada bukti empiris," tulis mereka di laporan.
Meski sering ilmuwan dan seniman bekerja sama untuk membuat rekonstruksi, tetapi unsur yang dimasukkan lebih didorong hasrat seni daripada sains, tulis mereka.
Baca Juga: Studi Terbaru Coba Ungkap Identitas Manusia Hobbit dari Flores
Banyak seniman menciptakan rekonstruksi itu dengan mempelajari otot pada kera besar dan primata, bukan manusia sebagai evolusi lanjutannya.
Misal, kasus pada rekonstruksi tengkorak anak Taung Australopithecus africanus yang berusia 2,8 juta tahun di Afrika Selatan. Kerangka itu ditemukan pada 1924 dan memiliki dua versi rekonstruksi.
Versi pertama yang dibuat para seniman membuatnya lebih mirip kera besar—yang merupakan kerabat kita seperti simpanse dan gorila. Sedangkan versi kedua, tampak lebih mirip dengan manusia ketika seniman dan ilmuwan bekerja sama.
Selain lebih mengandalkan seni, tim menilai, rekonstruksi seperti itu punya banyak kekurangan lainnya bila dikaji intepretasinya. Kekurangan itu membuat banyak kesesatan terkait kehidupan manusia purba dan fisik mereka.
Baca Juga: Meski Pintar, Kera di Setiap Generasi Harus Belajar dari Nol Lagi
Terlebih, rekonstruksi ini banyak dijadikan patung di dalam museum, sehingga banyak yang beranggapan keliru terkait manusia purba.
Rui Diogo, salah satu peneliti, memberi contoh kasus pada rekonstruksi beberapa hominid punah di Smithsonian National Museum of Natural History di Washington, D.C. Rekonstruksi patung yang dipamerkan terlihat memiliki kulit yang terang.
"Tidak ada bukti [ilmiah] yang mengatakan kulit mereka itu lebih putih," kata Diogo, dikutip dari Science News.
Dengan rekonstruksi seperti itu, seolah memberi kesan hanya orang dengan kulit lebih cerahlah yang akan lebih berevolusi.
"Rekonstruksi di masa lalu, kebanyakan tidak memiliki dasar ilmiah." tambahnya. "Kami [lewat studi ini] bertujuan untuk mengubah metodenya, dan mengubah bias."
Sedang Campbell lebih berpendapat, pandangan seniman yang salah tentang evolusi manusia membuat bias tentang kecerdasan, dan perilaku spesies yang telah punah. Rekonstruksi sering menggambarkan manusia purba—terutama Neanderthal—sebagai makhluk yang memiliki rambut kusut dan kotor.
"Seolah-olah ada bias dalam menggambarkan nenek moyang kita. Seolah-olah mereka itu bodoh dan tidak memiliki kebersihan," ujar Campbell.
Faktanya, ia berpendapat, semua jenis hewan pandai merawat dirinya sendiri, dan tidak ada alasan untuk menganggap manusia purba berbeda dari kita atau hewan lainnya terkait kebersihan.
Baca Juga: Lama Diperdebatkan, Teknologi Ini Bantu Ungkap Jenis Kelamin Fosil Ini
Untuk meminimumkan bias, biasanya rekonstruksi tanpa rambut cenderung lebih akurat. Sebab rambut biasanya tidak terawetkan dalam fosil, dan DNA dari tulang dapat memberi informasi pada kita tentang warnanya. Tetapi bukan berarti bisa menunjukkan kebiasaan cara mereka merawat rambut.
"Merekonstruksi rambut bahkan bukan spekulasi informasi," kata Campbell, dan menilai spekulasi selama ini tak lebih dari sekedar imajiner subjektif.
Dalam laporannya, mereka mencoba memperkenalkan standar untuk memberi potret yang akurat, supaya dapat menghasilkan gambar tanpa subjektivitas.
Mereka pun mencoba menerapkannya pada beberapa fosil kerangka—seperti A. africanus dan Lucy—dan dan dapat direproduksi ke berbagai bentuk. Hasilnya, lebih akurat mendekati hasil laporan yang dibuat ilmuwan sebelumnya.
Setelah itu, tim peneliti itu membuat basis data referensi yang dapat digunakan para ilmuwan untuk merekonstruksi wajah dan fosil. Mereka pun berharap basis data ini bisa menjadi acuan atas temuan arkeologis, seperti hewan purba.
Source | : | Frontiersin.org,Science News |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR