Nationalgeographic.co.id—Bagaimana rasanya hidup dalam kemewahan istana, terasing dari segala bentuk penderitaan duniawi, namun kemudian menyadari bahwa kenyataan pahit penuaan, penyakit, dan kematian tak terhindarkan bagi siapapun, termasuk diri sendiri?
Bisakah kekayaan dan kekuasaan melindungi seseorang dari hakikat kefanaan hidup? Apa yang mendorong seorang pangeran muda, yang dikelilingi kesenangan dan kemewahan, untuk meninggalkan segalanya demi mencari jawaban atas misteri penderitaan dan jalan menuju pembebasan?
Sosok Siddhartha Gautama (sekitar 563 - 483 SM) lebih dari sekadar kisah kehidupan, melainkan sebuah perjalanan transformatif yang menggugah, dari kehidupan seorang pewaris takhta yang terlindung hingga menjadi seorang Buddha, sang guru spiritual yang ajarannya mengubah peradaban.
Mari selami lebih dalam lika-liku kehidupannya, pergulatannya dengan realitas, dan pencerahan yang membawanya menjadi ikon kebijaksanaan dan kedamaian bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Latar Belakang, Masa Muda, dan Empat Pertanda
Siddhartha lahir di Lumbini (Nepal saat ini) pada era perubahan besar di India. Hindu (Sanatan Dharma), agama dominan kala itu, mulai dipertanyakan validitasnya.
Kitab suci Veda, dalam bahasa Sanskerta yang tak dipahami rakyat, diinterpretasikan oleh para pendeta yang dianggap hanya menguntungkan diri sendiri, sementara sistem kasta yang diajarkan sebagai bagian dari tatanan ilahi justru menimbulkan penderitaan. Konsep-konsep seperti Brahman, karma, dharma, samsara (siklus kelahiran kembali), dan atman (jiwa universal) pun mulai ditinjau ulang.
Reaksi terhadap kondisi ini memunculkan berbagai aliran pemikiran baru. Aliran yang menerima otoritas Veda disebut astika, sementara yang menolaknya disebut nastika. Buddhisme, bersama Jainisme dan Charvaka, adalah contoh aliran nastika yang bertahan dan berkembang, menawarkan alternatif bagi mereka yang mencari pembebasan dari siklus penderitaan.
Menurut catatan Buddhis, saat kelahiran Siddhartha, diramalkan ia akan menjadi raja besar atau pemimpin spiritual agung. Ayahnya, berharap ia menjadi raja, melindunginya dari segala bentuk penderitaan dunia selama 29 tahun pertamanya. Ia hidup bergelimang harta di istana, menikah, dan memiliki seorang putra.
Namun, suatu hari, seperti dilansir laman World History, Siddhartha berhasil keluar dari istana dan menyaksikan apa yang dikenal sebagai Empat Pertanda: seorang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa religius.
Masing-masing penglihatan ini membuatnya menyadari bahwa ia, seperti semua orang, akan mengalami usia tua, penyakit, dan kematian, serta kehilangan semua yang ia cintai. Ini membawanya pada pemahaman bahwa kehidupan yang dijalani di istana pun pada dasarnya akan menghasilkan penderitaan akibat kekurangan atau kehilangan.
Baca Juga: Siapakah Sebenarnya Buddha? Sang Pencerah dari Ajaran Kehidupan
KOMENTAR