Nationalgeographic.co.id—Ketakutan akan konflik habis-habisan antara India yang bersenjata nuklir dan Pakistan telah diredakan dengan gencatan senjata. Namun luka dari pertikaian selama puluhan tahun masih dalam.
India dan Pakistan telah menghentikan konfrontasi terakhir dalam konflik mereka yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan gencatan senjata. Gencatan senjata itu diumumkan pada 10 Mei 2025. “Namun ketegangan dan luka yang berasal dari pertempuran selama bertahun-tahun antara negara-negara tetangga itu tetap ada,” tulis Vivian Ho di laman The Washington Post.
Kekerasan sering berkobar di wilayah tersebut sejak kehancuran pemisahan tahun 1947. Pemisahan 1947 menyebabkan jutaan orang mengungsi dan sedikitnya ratusan ribu lainnya tewas. Hubungan yang tegang itu semakin menegangkan karena kedua negara membangun kemampuan nuklir mereka. Hal ini tentu saja memicu kekhawatiran global atas kemungkinan perang habis-habisan.
Pemisahan dan pertumpahan darah
Pada bulan Agustus 1947, Inggris memberikan kemerdekaan kepada India setelah satu abad pemerintahan kolonial langsung, didahului oleh satu abad lagi kendali di bawah East India Company milik Inggris. Dengan demikian, para administrator Inggris membagi subbenua itu menjadi dua negara.
“India yang mayoritas beragama Hindu dan Pakistan yang mayoritas beragama Muslim,” ungkap Ho.
Pemisahan (Partition) itu memicu salah satu pergolakan paling berdarah dalam sejarah dunia modern. Sekitar 14 juta orang diyakini telah meninggalkan kampung halaman mereka pada musim panas dan gugur tahun 1947. Sementara perkiraan jumlah orang yang tewas pada bulan-bulan itu berkisar antara 200.000 hingga 2 juta orang.
Umat Hindu dan Sikh melarikan diri dari Pakistan saat umat Muslim di India melarikan diri ke arah yang berlawanan. Para penyintas menggambarkan semacam kegilaan yang terjadi. Massa membakar dan menjarah rumah-rumah.
Mereka membantai tetangganya dan membakar tawanan yang masih hidup. Para wanita memilih untuk menenggelamkan diri untuk menghindari pemerkosaan dan kekerasan yang meluas. Suami dan ayah mereka terkadang membunuh para wanita di dalam keluarga.
Kereta yang membawa pengungsi antara dua negara baru itu kemudian dikenal sebagai “kereta berdarah”. Kereta-kereta sering kali memasuki stasiun dengan darah merembes keluar dari pintu gerbong. Gerbong penuh dengan mayat penumpang yang telah dibunuh oleh massa dalam perjalanan.
“Saya melihat jasad seorang pria yang sudah meninggal terlempar dari kereta,” kata Sarjit Singh Chowdhary. Chowdhary adalah tentara Sikh yang membantu para pengungsi Muslim mencapai tempat yang aman di Pakistan. “Suatu kali, dalam perjalanan dari Delhi ke Jalandhar, kami berhenti di Kanal Doraha dan melihat airnya berubah menjadi merah karena darah.”
Baca Juga: Penyebab Konflik India Pakistan: Mengapa Kashmir Terus Memicu Sengketa Kedua Negara?
Source | : | The Washington Post |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR