Rumput Laut Ini Dapat Kurangi Emisi Metana dari Sapi, Efisienkah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 10 November 2023 | 20:00 WIB
Sektor peternakan merupakan salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca metana. Para ilmuwan mulai mencari jalan lain dengan mengubah diet sapi ternak. (Michael Forsberg/National Geographic Creative)

Nationalgeographic.co.id—Sumber pangan kita di peternakan menyumbang 14,5 persen emisi gas rumah kaca, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Penyumbang terbesarnya berasal dari sapi yang jumlah emisinya dua pertiga dari yang dihasilkan peternakan.

Tidak hanya sapi, gas rumah kaca metana dapat dihasilkan dari hewan ternak lainnya seperti domba dan kambing. Perut besar sapi adalah habitat bagi miliaran mikroorganisme. Salah satu di antaranya disebut metanogen yang menghasilkan gas metana ketika membantu pencernaan sapi, kambing, dan domba dari pakan. Gas metana kemudian keluar melalui sendawa mereka.

Alhasil, sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim, banyak dari kita yang mengubah dietnya, seperti menjadi vegetarian. Masalahnya, mengganti diet belum tentu dapat dilakukan oleh semua orang. Terlebih, sebagai makhluk omnivora, memerlukan protein dan zat hewani penting lainnya.

Alih-alih mengubah pola diet kita, para ilmuwan punya gagasan lain dengan mengubah pola diet hewan ternak. Pola dietnya diubah dengan bahan dasar rumput laut. Jenis rumput laut tertentu punya senyawa khusus yang melemahkan kemampuan mikroba penghasil metana.

Sebuah studi di PLOS One tahun 2021 mengungkapkan, rumput hijau merah (Asparagopsis taxiformis) dapat dimanfaatkan dalam mengurangi emisi metana peternakan. Jumlahnya berkurang sebesar 50 persen pada sapi perah, jika diberi rumput laut A. taxiformis.

Para peneliti, dikutip dari The Conversation, menjelaskan bahwa pola makan sapi dari kandungan rumput laut dapat mengubah pakan menjadi berat badan 20 persen lebih efisien dari biasanya. Dengan demikian, jumlah pakan di pasar dapat lebih hemat untuk di bawa ke peternakan.

Melansir The Guardian, Ermias Kebreab, penulis senior makalah tersebut dari University of California mengatakan, "Kami sekarang memiliki bukti kuat bahwa rumput laut dalam pakan ternak efektif dalam mengurangi gas rumah kaca, dan efektivitasnya tidak akan berkurang seiring berjalannya waktu."

Pengetahuan ini membuka perdebatan bagi kalangan ilmuwan sebagai solusi mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika cara ini diterapkan, diperlukan A. taxiformis yang dibudidaya karena banyaknya jumlah sapi peternakan di seluruh dunia.

Masalahnya, A. taxiformis lebih banyak ditemukan tumbuh di Australia. Mengirimnya dalam jumlah besar ke peternakan di seluruh dunia dapat mengganggu pertumbuhan rumput laut itu sendiri. Belum lagi, emisi karbon yang akan dihasilkan dalam ekspedisi pengiriman.

Selain itu, jika A. taxiformis dibudidayakan  di laut tertentu dapat menjadi spesies invasif. Sementara jika rumput laut tersebut dibudidaya dalam ruangan, jejak karbon yang dihasilkan akan sangat tinggi.

"Pertanyaannya adalah, apakah ada spesies rumput laut yang berasal dari berbagai wilayah di seluruh dunia ... yang dapat diproduksi dalam skala yang diperlukan untuk memberi makan ribuan ekor sapi yang kita hasilkan?" kata Nichole Price, dikutip WBUR.

Rumput laut merah (Asparagopsis taxiformis) dapat menjadi bahan campuran pada pakan sapi ternak yang dapat mengurangi produksi gas metana. Mungkinkah jawaban untuk pangan yang lebih ramah lingkungan? (Jome Jome/Flickr)

Price adalah ilmuwan peneliti senior Bigelow Laboratory for Ocean Sciences di Maine, AS. Dia bersama timnya telah mengidentifikasi berbagai varietas rumput, termasuk mikroalga dan makhluk bersel satu lainnya untuk mencari tahu sifat penghambat metana yang mirip.

Kini, penelitiannya masih berjalan untuk mengungkapkan konsentrasi gas metana yang dikeluarkan dari eksperimen 'perut palsu sapi' di laboratorium.

Peneliti ekonomi Jan Dutkiewicz dan peneliti lingkungan Matthew Hayek menulis pendapat senada di Wired. Menurut mereka, walau terdengar meyakinkan, kenyataannya adalah manfaat rumput jauh lebih terbatas.

"Sayangnya, menambahkan alga ke dalam makanan di padang rumput, tempat yang paling membutuhkan alga, juga bukan pilihan yang tepat. Di lahan penggembalaan, sulit membuat sapi mengonsumsi zat aditif karena mereka tidak menyukai rasa ganggang merah kecuali jika diencerkan menjadi pakan," tulis mereka.

"Dan bahkan jika kita berhasil menemukan cara untuk menyelinap masuk ke dalam alga, ada kemungkinan besar mikroba usus mereka akan beradaptasi dan menyesuaikan diri, sehingga metana yang dihasilkan dari sendawa mereka kembali ke tingkat yang tinggi.

Josh Goldman, Project Leader Greener Grazing mengungkapkan, butuh 200 juta ton rumput laut untuk memberi makan ternak di seluruh dunia. Dia, melalui proyeknya, hendak mencari cara untuk mengurangi gas metana yang dihasilkan hewan ternak. Proyeknya berjalan di Vietnam.

"Salah satunya adalah rumput laut untuk budidayanya kita harus perlu mengambil tanaman besar, memotongnya, lalu mengikat atau merekatkan potongan tersebut ke tali dan meraka akan tumbuh kembali," kata Goldman. "Namun rumput lainnya punya riwayat yang jauh lebih kompleks."

Greener Grazing meneliti lebih lanjut tentang rumput laut. Agar berhasil menghilangkan metana dari ternak, mereka mencoba mengubah A. taxiformis menjadi rumput laut yang sederhana. Mereka mengupayakan agar rumput laut dapat dipelajari genetikanya dan menentukan upaya apa yang dapat membantunya tumbuh di darat dalam waktu yang lama.

Goldman mengupayakan budidaya rumput laut melalui spora. Budidaya ini menurutnya punya manfaat bagi pengurangan emisi gas rumah kaca, karena rumput laut mampu menyerap karbon dioksida. "Lautan menjadi semakin asam, dan budidaya rumput laut adalah salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut," tuturnya.

Bagaimanapun, upaya mengurangi emisi metana dengan mengganti pakan dari rumput laut mendulang kritik dari kalangan vegetarian. Presiden Boston Vegetarian Society berpendapat bahwa cara yang lebih sederhana untuk mengurangi emisi metana dari peternakan adalah berhenti mengonsumsi daging dan susu.

“Ada manfaat langsung jika kita mengurangi konsumsi daging, susu, dan produk hewani,” kata ujar Kimber di WBUR. Menurutnya, penelitian rumput laut seolah sebagai upaya menghindari masalah yang lebih besar. 

“Bereksperimen dengan memberikan rumput laut kepada sapi memperlakukan hewan seolah-olah mereka adalah mesin, di mana Anda mengubah bahan bakar untuk mengubah emisi,” katanya.

Kimber menjelaskan, peternakan sapi tidak hanya menjadi sumber utama gas metana, tetapi penyebab utama deforestasi, khususnya hutan hujan tropis. Semakin banyak permintaan, menyebabkan peternakan baru dibuka dengan mengambil lahan hutan.