Zoroastrianisme dikembangkan oleh seorang nabi bernama Zarathustra, atau juga dikenal oleh orang Yunani sebagai Zoroaster.
Mengikuti jejak ayahnya, Zoroaster masuk menjadi imam sejak usia muda dan tampaknya dilahirkan dalam keluarga yang relatif kaya. Ketika berusia sekitar tiga puluh tahun, Zoroaster mendapatkan sebuah penglihatan ketika sedang melakukan ritual pemurnian.
Di sisi lain tepi sungai, Zoroaster melihat makhluk bercahaya yang memberi isyarat kepadanya. Makhluk itu menyebut dirinya Vohu Manah, yang berarti "Pikiran yang Baik".
Vohu Manah menuntun Zoroaster untuk menemukan Ahura Mazda dan enam makhluk spiritualnya yang disebut Amesha Spentas. Mereka memberitahunya bahwa kepercayaan lama adalah kepalsuan dan Ahura Mazda adalah satu-satunya Tuhan yang benar.
Zoroaster kemudian mulai menyebarkan ajarannya. Ia juga mengembangkannya melalui penglihatan-penglihatan berikutnya dengan bantuan Ahura Mazda.
“Ada perdebatan di antara para ahli tentang kapan Zoroaster menyebarkan ajarannya. Konsensus yang ada adalah bahwa ia hidup antara tahun 1500 dan 1000 SM,” kata Husdon.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa Zoroaster adalah orang yang hidup sezaman dengan Cyrus Agung; pendiri Kekaisaran Akhemeniyah. Meskipun berstatus sebagai nabi, Zoroaster sendiri tidak disembah.
Konsep Agama Zoroaster
Berbeda dengan kepercayaan politeisme mitologi Persia kuno, Zoroastrianisme mengakui Ahura Mazda sebagai satu-satunya Tuhan yang benar. Makhluk tertinggi ini diyakini sebagai pencipta alam semesta.
“Dia maha kuasa, maha tahu, dan maha hadir,” kata Husdon. “Ahura Mazda juga dikenal sebagai ‘Tuhan yang Bijaksana’, dan merupakan personifikasi dari segala sesuatu yang adil dan baik.”
Seperti dalam agama Persia kuno, Ahura Mazda ditentang oleh Angra Mainyu, yang merupakan esensi dari kejahatan. Para penganut Zoroaster percaya bahwa Ahura Mazda memberikan kehendak bebas kepada manusia.