Krisis Minyak 1973, Sejarah Dunia Gempar Akibat Perang Arab-Israel

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 14 November 2023 | 14:31 WIB
Pom bensin di Portland, AS, dengan antrean mobil yang hendak menigisi BBM pada 1973. Saat itu dalam sejarah dunia, negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah mengembargo ekspor minyak ke negara-negara Barat. Hal ini menyebabkan goncangan ekonomi dan politik dunia. (David Falconer/Public Domain/Flickr)

Arab Saudi pun menyetujui embargo. OAPEC menuntut agar Israel meninggalkan wilayah yang sebelumnya telah disepakati pada 1949.

Negara-negara OPEC di Teluk Persia menaikkan harga minyak mentahnya dua kali lipat pada Oktober 1973, dan bertambah lagi pada Januari 1974. Krisis ini membuka mata AS bahwa sebesar-besar kekuatannya terhadap dunia, ternyata sangat bergantung pada negara-negara berkembang.

Hal ini membuat Israel menyetujui kesepakatan untuk menarik pasukan ke timur Terusan Suez sebagai penghentian Perang Yom Kippur pada 18 Januari 1974. Tindakan ini disebabkan OPEC membekukan harga minyak sampai pada 7 Januari.

Krisis minyak ini membawa perubahan besar pada dunia pada dekade selanjutnya. Peningkatan harga menyebabkan peningkatan produksi minyak yang tidak hanya di negara-negara OPEC, tetapi juga berbagai tempat di dunia, termasuk Meksiko dan pembukaan ladang minyak Laut Utara.

Rentang harga minyak bumi sejak 1861 dalam sejarah dunia. Terlihat pada dekade 1970-an hingga 1980-an harga minyak melambung tinggi. Hal itu disebabkan negara-negara Arab di OAPEC dan OPEC mengembargo minyak sebagai reaksi menentang Israel. (Jashuah/Wikimedia Commons)

Tindakan ini juga mengurangi konsumsi minyak di berbagai negara industri, seiring langkah konservasi diambil. Menteri Luar Negeri AS Henry Alfred Kissinger mengadakan proyek independen yang merencanakan agar AS bisa menghasilkan energi sendiri.

Sejarah dunia mengungkapkan OPEC tersadar akan kemungkinan hilangnya pasar. Mereka menegaskan kembali pengaruhnya pada 1979 dengan memangkas produksi dan menaikkan harga. Pasokan minyak di Timur Tengah semakin tidak pasti pada 1979, terutama ketika revolusi Iran terjadi menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi pada 1 April.

Raja Khalid di Arab Saudi pada pertengahan 1980 menaikkan harga resmi mentah ringan menjadi 32 dolar AS per barel. Harga minyak impor di AS menjadi naik mencapai puncaknya pada 36 dolar AS per barel pada April 1981.

Kenaikan harga minyak membuat bank sentral bereaksi. Respons tersebut menyeret negara-negara masju ke dalam resesi. Di Indonesia, hal itu tidak berdampak karena penerimaan ekspor Indonesia pada awal dekade 1980-an berasal dari migas.

Akhir dari Cengkraman Negara-Negara Penghasil Minyak

Krisis yang melanda negara-negara maju, menyebabkan konsumsi minyak yang menurun dan seiring dengan percepatan langkah-langkah konservasi. Negara-negara maju mulai berpindah ke peningkatan minyak dari negara-negara non-OPEC, sehingga menekan kemampuan OPEC.

Akhirnya, organisasi penghasil dagang minyak di OPEC mulai retak. Beberapa anggotanya melakukan kecurangan dengan berupaya meningkatkan upaya pendapatan nasional lewat produksi minyak diam-diam melampaui kuota yang ditentukan.

Hal ini menyebabkan harga minyak turun, dan OPEC menurunkan harganya jauh lebih murah lagi. Upaya ini dilakukan demi mempertahankan pendapatan dan meningkatkan pangsa pasarnya. Selain itu, pada dekade 1980-an, upaya konservasi energi di negara-negara industri pun berjalan lancar.