Nationalgeographic.co.id—1973 adalah masa krisis minyak yang sangat berdampak pada sejarah dunia. Latar belakang krisis minyak ini berhubungan dengan sejarah geopolitik yang memanas di sejak akhir Perang Dunia II dunia, terutama di Timur Tengah.
Menurut sejumlah ahli ekonomi dan perminyakan, krisis 1973 memiliki momentum penggunaan minyak sejak 1940-an. Sebelumnya, saat Perang Dunia II, dipicu dengan momentum penggunaan minyak pada 1940-an. Pada saat Perang Dunia II, negara berebut untuk mendapatkan akses minyak.
Lingkungan sejarah dunia perminyakan saat itu memudahkan kartel memanipulasi harga pasar dunia. Ini pula yang menjadi alasan Jepang mengivasi Asia Tenggara untuk memperluas koloninya, dan Jerman dan Italia menginvasi Afrika Utara dan sekitar Terusan Suez.
Usai Perang Dunia II, AS sebagai negara yang memiliki akses sumber daya minyak dunia berada pada posisi menuju perekonomian yang menguntungkan. Ladang-ladangnya melimpah di seluruh dunia sepanjang 1950-an dan 1960-an. Minyak segera menjadi sumber daya di AS yang menguntungkan.
AS kemudian mulai memberlakukan kuota impor minyak mentah dan produk minyak bumi pada 1960. Tujuannya adalah melindungi harga, memberikan manfaat keuntungan di dalam negeri, dan mendorong eksplorasi.
Kuota ini kemudian dilonggarkan pada 1972, karena beberapa negara bagian di AS merasa keberatan. Mereka merasa lebih mudah dan murah untuk menggunakan minyak impor daripada produksi dalam negeri.
Momen ini dalam sejarah dunia menandakan kenaikan harga minyak karena ketersediaannya menipis di AS dan menjalar ke seluruh dunia pada 1973. Penyebabnya, impor minyak AS berasal dari negara-negara Timur Tengah yang tergabung dengan OAPEC (Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak Bumi) dan OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi).
OAPEC dan OPEC
OAPEC yang diisi oleh negara-negara Arab, sebagian menyatakan sikap setelah Perang Enam Hari. Sejak 1967, negara-negara Arab seperti Mesir, Suriah, Yordania, Irak, Aljazair, Kuwait, dan Sudan, bertemu di Khartoum dalam KTT Arab. Mereka mengeluarkan resolusi negara Arab mana pun untuk berdamai, mengakui, dan bernegosiasi dengan Israel.
Resolusi ini kemudian mendorong Perang Yom Kippur atau Perang Ramadan pada Oktober 1973. Negara-negara OAPEC meluncurkan gerakan berani berupa embargo minyak yang diproklamasikan Raja Faisal dari Arab Saudi. Gerakan ini menggemparkan sejarah dunia sampai satu dekade lamanya.
Embargo ini mengurangi pasokan minyak dunia yang dapat diekspor dari masing-masing negaranya. Harga minyak pun meningkat 300 persen pada 1974. Negara-negara Arab melambungkan harga minyak dalam ekspor ke AS, Inggris, Belanda, Jepang, dan Kanada.
Saat itu, lima negara tersebut menyatakan dukungan terhadap Israel saat melawan Mesir dan Suriah. Presiden Nixon di AS, sebelumnya, bahkan menyetujui bantuan militer kepada Israel sebesar 2,2 miliar dolar AS.
Arab Saudi pun menyetujui embargo. OAPEC menuntut agar Israel meninggalkan wilayah yang sebelumnya telah disepakati pada 1949.
Negara-negara OPEC di Teluk Persia menaikkan harga minyak mentahnya dua kali lipat pada Oktober 1973, dan bertambah lagi pada Januari 1974. Krisis ini membuka mata AS bahwa sebesar-besar kekuatannya terhadap dunia, ternyata sangat bergantung pada negara-negara berkembang.
Hal ini membuat Israel menyetujui kesepakatan untuk menarik pasukan ke timur Terusan Suez sebagai penghentian Perang Yom Kippur pada 18 Januari 1974. Tindakan ini disebabkan OPEC membekukan harga minyak sampai pada 7 Januari.
Krisis minyak ini membawa perubahan besar pada dunia pada dekade selanjutnya. Peningkatan harga menyebabkan peningkatan produksi minyak yang tidak hanya di negara-negara OPEC, tetapi juga berbagai tempat di dunia, termasuk Meksiko dan pembukaan ladang minyak Laut Utara.
Tindakan ini juga mengurangi konsumsi minyak di berbagai negara industri, seiring langkah konservasi diambil. Menteri Luar Negeri AS Henry Alfred Kissinger mengadakan proyek independen yang merencanakan agar AS bisa menghasilkan energi sendiri.
Sejarah dunia mengungkapkan OPEC tersadar akan kemungkinan hilangnya pasar. Mereka menegaskan kembali pengaruhnya pada 1979 dengan memangkas produksi dan menaikkan harga. Pasokan minyak di Timur Tengah semakin tidak pasti pada 1979, terutama ketika revolusi Iran terjadi menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi pada 1 April.
Raja Khalid di Arab Saudi pada pertengahan 1980 menaikkan harga resmi mentah ringan menjadi 32 dolar AS per barel. Harga minyak impor di AS menjadi naik mencapai puncaknya pada 36 dolar AS per barel pada April 1981.
Kenaikan harga minyak membuat bank sentral bereaksi. Respons tersebut menyeret negara-negara masju ke dalam resesi. Di Indonesia, hal itu tidak berdampak karena penerimaan ekspor Indonesia pada awal dekade 1980-an berasal dari migas.
Akhir dari Cengkraman Negara-Negara Penghasil Minyak
Krisis yang melanda negara-negara maju, menyebabkan konsumsi minyak yang menurun dan seiring dengan percepatan langkah-langkah konservasi. Negara-negara maju mulai berpindah ke peningkatan minyak dari negara-negara non-OPEC, sehingga menekan kemampuan OPEC.
Akhirnya, organisasi penghasil dagang minyak di OPEC mulai retak. Beberapa anggotanya melakukan kecurangan dengan berupaya meningkatkan upaya pendapatan nasional lewat produksi minyak diam-diam melampaui kuota yang ditentukan.
Hal ini menyebabkan harga minyak turun, dan OPEC menurunkan harganya jauh lebih murah lagi. Upaya ini dilakukan demi mempertahankan pendapatan dan meningkatkan pangsa pasarnya. Selain itu, pada dekade 1980-an, upaya konservasi energi di negara-negara industri pun berjalan lancar.