Ketegangan AS-Jepang untuk Hindia Belanda Jelang Perang Dunia II

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 17 November 2023 | 19:00 WIB
Dua pesawat pengebom Kekaisaran Jepang Nakajima B5N di Laut Jawa pada Februari 1942. Serangan ini menjadi pembuka invasi Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada Perang Dunia II. Amerika Serikat mengecam tindakan ini demi menjaga industrinya di Hindia. (Japanese Imperial Navy/Wikimedia Commons)

Dengan ketertarikannya atas Hindia Belanda, Hull justru menyurati sikap yang bertujuan menengahi Kekaisaran Jepang dan Belanda. Namun, surat itu telat sampai beberapa bulan, membuat takdir hubungan Kekaisaran Jepang dan AS memanas setelah serangan Pearl Harbor.

Kekaisaran Jepang mulai menginvasi Asia Tenggara pada 1940-1942. Bermula dari Tiongkok, Vietnam, Filipina, Semenanjung Melayu, dan Hindia Belanda. Tindakan Jepang ini bertentangan dengan kepentingan AS di Pasifik yang menginginkan kestabilan di Asia Tenggara.

Belum lagi, AS yang sangat terdesak dengan keamanan Filipina yang sebelumnya pernah mereka kuasai. AS menginginkan negara-negara Asia Tenggara bebas dari campur tangan Jepang agar hak bagi AS membeli bahan bakunya tidak terganggu Kekaisaran Jepang.

Memang, kependudukan Kekaisaran Jepang di Asia Tenggara tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian AS. Akan tetapi, tindakan tersebut merupakan penguasaan bahan baku sebagai senjata ekonomi dan politik yang memengaruhi konsensi negara-negara lain terhadap AS. Posisi AS dalam kesulitan karena produksinya di Amerika Selatan terhambat.

Sebelum menginvasi Hindia Belanda, Kekaisaran Jepang mendesak tuntutan terhadap Belanda melalui Sekretaris Kedutaan yang berada di Den Haag. Tuntutan mereka menginginkan akses bebas bahan baku, pembelian, dan peran industri di Hindia Belanda.

Patung Jenderal Douglas MacArthur berdiri dengan gagahnya di Pulau Zum Zum, yang dapat dicapai menggunakan kapal cepat selama kurang lebih 15 menit dari pelabuhan di Daruba. Kabarnya, sang jenderal kerap menyambangi pulau ini pada masa Perang Dunia II. (M. Reza Selang)

Belanda tidak punya waktu. Mereka yakin bahwa Hindia akan direbut Kekaisaran Jepang dalam waktu dekat. Oleh karena itu, pada waktu bersamaan dengan tuntutan di Den Haag, Menteri Urusan Jajahan H.J van Mook (nantinya menjadi Gubernur Jenderal de facto) mencapai kesepakatan dengan Jenderal Douglas MacArthur.

Kesepakatan ini dinilai bahwa Belanda berserah diri pada kekuatan AS jika perang pecah di Hindia. Belanda juga meminta agar otoritas Belanda dapat kembali berkuasa di Indonesia jika perang telah usai.

Sementara itu di Eropa, Belanda telah porak poranda pada 1940. Pemerintah dan keluarga kerajaan berpindah ke Kerajaan Inggris. Billy David Hancock dalam tesisnya bertajuk The United States and Indonesian Indpendence: The Role of American Public Opinion mengungkapkan bahwa lembaga politik, ekonomi, dan keuangan Belanda pindah ke Jakarta, ibukota Hindia Belanda.

Pemerintahannya mengungsi ke Kerajaan Inggris. Sedangkan lembaga politik, ekonomi, dan keuangannya berpindah ke Jakarta, ibukota Hindia Belanda.

Pada 24 Juli 1941, Duta Besar Jepang untuk AS bertemu dengan Presiden F.D Roosevelt, Hull, dan Laksamana Harold Stark di Gedung Putih. Roosevelt mengecam invasi terhadap Asia Tenggara dan tidak akan lagi mengabaikan baik ancaman maupun tindakan Kekaisaran Jepang di Pasifik.

AS bahkan mengancam balik, jika Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda. Invasi yang akan dilakukan tidak hanya menyatakan perang terhadap Belanda dan Inggris, tetapi juga dengan AS. Pertemuan ini sia-sia, karena kedua belah pihak akhirnya saling beradu dalam Perang Dunia II kancah Pasifik.

Kelak dalam berbagai sejarah Indonesia saat Perang Dunia II, kepulauannya menjadi kancah seru. AS dan Sekutu berpindah dari pulau-pulau Pasifik demi menyisir kawasan yang sempat jatuh di tangan Kekaisaran Jepang.

Pada akhirnya, kelak AS akan terlibat dalam politik dalam negeri Belanda dan koloninya di Hindia. Urusan campur tangan ini pada akhirnya memengaruhi keputusan Belanda menghentikan agresi militernya.