Sejarah Dunia Kuno: Belajar dari Athena dan Sparta, Apa Alasan Perang?

By Tri Wahyu Prasetyo, Minggu, 19 November 2023 | 13:00 WIB
Lukisan Georges Rochegrosse yang menggambarkan suasana perang pasukan Yunani kuno. ( Georges Rochegrosse/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Anggapan bahwa negara demokratis cenderung lebih sedikit berperang daripada negara otoriter tidak selalu terbukti secara historis. Pada ribuan tahun lalu Yunani Kuno menyajikan paradoks terkait dengan alasan perang.

Lantas apa yang mendorong orang Yunani Kuno untuk berperang? Profesor Sejarah Klasik dan Kuno, Matthew Sears, menjelaskan bahwa dalam sejarah Yunani kuno, terdapat paradoks di mana nilai-nilai yang dianggap mulia dan tidak mementingkan diri sendiri dapat menjadi penyebab perang “daripada alasan ‘buruk’ dan egois.”

Bangsa Sparta terkenal sampai sekarang karena reputasi mereka sebagai tentara yang menakutkan. Athena, di sisi lain, terkenal dengan kuil-kuil yang berkilauan dan demokrasi, sangat kontras dengan Sparta yang keras dan oligarki.

Meskipun demikian, Sears menjelaskan, “orang Athena bertempur lebih sering, untuk waktu yang lebih lama, serta dengan biaya material dan manusia yang lebih besar.” Dengan demikian, "orang Athena yang demokratis juga gemar bertarung."

Tiga ratus prajurit Sparta yang melakukan perlawanan terakhir melawan pasukan raksasa Xerxes di Thermopylae pada tahun 480 SM adalah gambaran Sparta yang telah melekat.

Para ahli sejarah sering menyebut Thermopylae sebagai bukti bersejarah bagi perlawanan berani terhadap tirani. Namun, menurut Sears, orang-orang Sparta yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan perjuangan untuk kebebasan. 

Sebaliknya, “mereka mengambil inspirasi dari puisi epik Homer, yang para pejuangnya berjuang demi ketenaran dan kemuliaan.”

Achilles adalah pahlwan setengah dewa yang terkenal dalam mitologi Yunani. (Smart Plots)

Achilles, pahlawan dalam Perang Troya, merupakan tokoh penting yang disebutkan oleh Homer dalam karyanya. Kebanggaan dan kehormatan menjadi titik-titik krusial yang memengaruhi tindakannya dalam Perang Troya.

Dikisahkan, Raja Mycenae, Agamemnon, merampas hadiah perang Achilles. Karena merasa terhina dan kehormatannya tercemar, Acheillies menarik diri dari medan perang.

Tak hanya mundur, ia juga berdoa kepada para dewa agar rekan-rekannya sesama orang Yunani terbunuh di medan perang. Melalui kisah ini, dapat disimpulkan, kehormatan memainkan peran sentral dalam kehidupan dan budaya masyarakat Yunani kuno.

Menurut Sears, pencarian kehormatan untuk menjadi populer menjelaskan mengapa orang-orang Sparta menugaskan puisi yang menekankan kemuliaan.