Nationalgeographic.co.id—Anggapan bahwa negara demokratis cenderung lebih sedikit berperang daripada negara otoriter tidak selalu terbukti secara historis. Pada ribuan tahun lalu Yunani Kuno menyajikan paradoks terkait dengan alasan perang.
Lantas apa yang mendorong orang Yunani Kuno untuk berperang? Profesor Sejarah Klasik dan Kuno, Matthew Sears, menjelaskan bahwa dalam sejarah Yunani kuno, terdapat paradoks di mana nilai-nilai yang dianggap mulia dan tidak mementingkan diri sendiri dapat menjadi penyebab perang “daripada alasan ‘buruk’ dan egois.”
Bangsa Sparta terkenal sampai sekarang karena reputasi mereka sebagai tentara yang menakutkan. Athena, di sisi lain, terkenal dengan kuil-kuil yang berkilauan dan demokrasi, sangat kontras dengan Sparta yang keras dan oligarki.
Meskipun demikian, Sears menjelaskan, “orang Athena bertempur lebih sering, untuk waktu yang lebih lama, serta dengan biaya material dan manusia yang lebih besar.” Dengan demikian, "orang Athena yang demokratis juga gemar bertarung."
Tiga ratus prajurit Sparta yang melakukan perlawanan terakhir melawan pasukan raksasa Xerxes di Thermopylae pada tahun 480 SM adalah gambaran Sparta yang telah melekat.
Para ahli sejarah sering menyebut Thermopylae sebagai bukti bersejarah bagi perlawanan berani terhadap tirani. Namun, menurut Sears, orang-orang Sparta yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan perjuangan untuk kebebasan.
Sebaliknya, “mereka mengambil inspirasi dari puisi epik Homer, yang para pejuangnya berjuang demi ketenaran dan kemuliaan.”
Achilles, pahlawan dalam Perang Troya, merupakan tokoh penting yang disebutkan oleh Homer dalam karyanya. Kebanggaan dan kehormatan menjadi titik-titik krusial yang memengaruhi tindakannya dalam Perang Troya.
Dikisahkan, Raja Mycenae, Agamemnon, merampas hadiah perang Achilles. Karena merasa terhina dan kehormatannya tercemar, Acheillies menarik diri dari medan perang.
Tak hanya mundur, ia juga berdoa kepada para dewa agar rekan-rekannya sesama orang Yunani terbunuh di medan perang. Melalui kisah ini, dapat disimpulkan, kehormatan memainkan peran sentral dalam kehidupan dan budaya masyarakat Yunani kuno.
Menurut Sears, pencarian kehormatan untuk menjadi populer menjelaskan mengapa orang-orang Sparta menugaskan puisi yang menekankan kemuliaan.
Mengapa? “Karena mereka menganggap mereka yang tewas sebagai paragon kesempurnaan dan ingin memastikan bahwa mereka yang gugur mendapatkan ketenaran.”
Dengan cara tersebut, generasi Sparta di masa depan akan lebih bersemangat untuk bertempur dan mati demi kejayaan.
Di sisi lain, bangsa Athena memiliki pemikiran yang berbeda tentang perang dan pengorbanan. Athena menghormati mereka yang gugur setelah Perang Persia tidak hanya karena keberanian mereka, tetapi juga sebagai pengorbanan dalam upaya melayani kebebasan.
Prasasti puitis mereka merayakan bagaimana para prajurit Athena menjaga demokrasi mereka sendiri sambil menangkal "hari perbudakan" di tangan Persia.
Di Athena, upacara untuk memperingati para pahlawan dibungkus dengan semangat pembebasan dan bersifat Panhellenik–menekankan bahwa orang-orang Athena berjuang bukan untuk diri mereka sendiri, tetapi secara altruistik untuk semua negara Yunani lainnya.
Melalui hal tersebut, pejuang Athena dan prajurit Sparta memiliki sudut pandang berbeda dalam memandang peperangan. Dua kota ini juga memiliki interval tempur yang berbeda.
“Perbedaannya mudah diukur,” kata Sears. “Sementara Sparta bertempur dalam beberapa konflik terbatas dalam 50 tahun setelah Perang Persia, orang Athena bertempur hampir di setiap tahun, seringkali jauh dari rumah dan dengan hasil yang berdarah-darah.”
Perbedaan ini bukan sekadar keanehan sejarah. Bangsa Athena secara aktif menggunakan reputasi sebagai pejuang kemerdekaan untuk membenarkan ekspansi kekaisaran. Ia tumbuh menjadi negara Yunani pertama yang membangun kekaisaran dengan menaklukkan negara-negara Yunani lainnya. Demokrasi dan kekaisaran berjalan beriringan.
Di sebagian besar negara Yunani, setiap warga negara terlibat dalam dinas militer. Tentara rakyat adalah hal yang biasa, sedangkan Sparta unik karena memiliki sesuatu yang menyerupai pasukan tentara profesional.
Runtuhnya Sparta
Sparta memenangkan Perang Peloponnesos, konflik yang terjadi selama 27 tahun akibat ekspansi Athena antara tahun 431-404 SM. Hal ini adalah satu-satunya peristiwa yang akhirnya menyeret Sparta ke dalam aksi militer berkepanjangan.
“Namun, Sparta melemahkan dirinya sendiri secara kritis pada tahun-tahun berikutnya dengan bertindak lebih seperti Athena, sebagai pembebas gadungan yang mengambil lebih banyak keterlibatan militer di luar negeri,” kata Sears.
Hal ini membuat Sparta memiliki banyak musuh. Ketika mereka membebaskan sesama orang Yunani dari kendali Athena dan demokrasi yang dipaksakan oleh Athena, mereka memaksa negara-negara yang baru saja dibebaskan untuk mengadopsi pemerintahan pro-Sparta (biasanya berupa oligarki).
Pada akhirnya, intervensionisme yang terus menerus menyebabkan kejatuhan Sparta pada tahun 371 SM di tangan rivalnya, Thebes. Retorika pembebasan dan peperangan yang terus menerus terjadi di Sparta, seperti yang terjadi di Athena, dengan konsekuensi yang mengerikan.