Merangkai Manik-manik Keragaman Budaya di Tondano, Tuan Rumah Minahasa Wakefest 2023

By Yussy Maulia, Sabtu, 25 November 2023 | 10:00 WIB
Danau Tondano merupakan pemberian ilahi bagi warga Minahasa. Di sekitarnya beragam budaya berkelindan dengan indah. (DOK. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id – Sejak lama, keragaman dan toleransi budaya yang tinggi telah menjadi kekuatan yang dibanggakan oleh masyarakat Minahasa, termasuk di wilayah Tondano dan sekitarnya.

Beragam budaya berkelindan dengan indah di Tanah Minahasa, mulai dari budaya Jawa hingga Belanda. Akulturasi budaya tersebut tak lepas dari catatan sejarah era kolonial Belanda. 

Koloni Belanda yang masuk melalui perairan Danau Tondano dan kekalahan masyarakat Minahasa dalam Perang Tondano, misalnya. Kemudian, budaya Jawa datang akibat dijadikannya Minahasa sebagai wilayah pembuangan tahanan politik setelah Perang Diponegoro. 

Terpilihnya Danau Tondano sebagai venue pelaksanaan Minahasa Wakefest 2023 menjadi kesempatan baik dan menarik untuk mempromosikan potensi cultural tourism yang bisa ditemukan di kehidupan sehari-hari masyarakat Minahasa.

Untuk diketahui, Minahasa Wakefest 2023 merupakan kompetisi olahraga air internasional yang digelar pada 24-26 November 2023.

Dalam diskusi bersama tim National Geographic Indonesia yang dilakukan sebelum pelaksanaan Minahasa Wakefest 2023, Budayawan Minahasa Rikson Karundeng menceritakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, orang-orang Minahasa memegang prinsip “torang semua bersaudara” yang artinya “kita semua bersaudara”.

“Ungkapan itu membuat Orang Minahasa saling peduli dan tidak suka kekerasan. Alhasil, kami selalu menyambut siapa saja yang datang ke Minahasa dengan terbuka,” jelas Rikson.

Sejak dulu, masyarakat desa di Minahasa juga tidak memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Siapa saja memiliki kesempatan menjadi tonaas umbanua—sebutan untuk kepala desa—asalkan memenuhi tiga kriteria.

Makam pahlawan Tuanku Imam Bonjol di Kabupaten Minahasa. (DOK. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

“Tiga kriteria menjadi tonaas adalah ngaasan (kecerdasan intelektual dan wawasan tentang negeri), ngetean (kepekaan hati terhadap masyarakat), dan keter (kuat secara fisik dan mental),” papar Rikson.

Bahkan, dengan kriteria tersebut, kata Rikson, kelompok perempuan Minahasa memiliki kesempatan untuk menjadi tanaas umbanua.

“Jadi pemimpin itu tidak diwariskan dari ayah atau kakek. Siapa saja bisa jadi pemimpin. Termasuk gendernya apa pun, baik laki-laki maupun perempuan, bisa jadi pemimpin,” imbuhnya.

Ragam etnis hidup dengan harmonis

Kabupaten Minahasa tempat Danau Tondano berada, sebagian besar dihuni oleh masyarakat dari suku Minahasa. Namun, berbagai peristiwa sejarah membuat wilayah ini kini memiliki keragaman etnis.

Bukti keberagaman etnis itu tersimpan di kampung-kampung Jawa yang tersebar di Minahasa, seperti Jawa Tondano (Jaton) dan Jawa Tomohon. Meski namanya kampung Jawa, tetapi penduduknya berasal dari berbagai etnis.

Menurut Rikson, kampung-kampung Jawa tersebut dulunya merupakan tempat pengasingan orang-orang penting, seperti Pangeran Diponegoro dan Raja Maluku. Beberapa tahanan dari Perang Banjar di Kalimantan juga diketahui diasingkan di kampung tersebut.

“Orang-orang luar (selain suku Minahasa) ini dulu dibuang di dekat rawa. Akan tetapi, orang Tondano mengungsikan mereka ke perkampungan. Mereka juga diperlakukan dengan baik, bahkan dihibahkan tanah untuk dimanfaatkan sebagai ladang kehidupan,” ungkap Rikson.

Monumen Yesus Memberkati. (DOK. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

Sampai saat ini, kata Rikson, keharmonisan masyarakat dari berbagai etnis masih terjaga di Tanah Minahasa. Bahkan, keterbukaan masyarakat Minahasa dalam menerima orang-orang baru juga melahirkan marga baru di sana, yakni Buang dan Tubagus Buang.

Menurut Rikson, marga tersebut digunakan oleh masyarakat keturunan Minahasa dan Sunda Banten yang menghuni Kampung Jawa Tomohon.

Selain itu, masyarakat Minahasa juga meyakini jargon yang berbunyi “Sulut sulit disulut”. Jargon ini digunakan oleh masyarakat untuk merespons ketika ada pihak yang mencoba memecah belah mereka.

“Kami tidak suka dibeda-bedakan. Orang Minahasa semua bersaudara apa pun suku, ras, atau agamanya, baik Minahasa Tomohon atau Minahasa dari daerah lain,” pungkas Rikson.

Kekayaan budaya berakulturasi dalam hidangan

Percampuran budaya yang harmonis di Tanah Minahasa juga tecermin dalam kekayaan rasa hidangan lokalnya. Salah satunya yang paling populer adalah klapertaart.

Kue berbahan dasar kelapa tersebut merupakan hasil akulturasi budaya Minahasa dan Belanda. Saat ini, klapertaart juga menjadi salah satu hidangan yang wajib dicicipi bila berkunjung ke Minahasa.

Dalam diskusi terpisah, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Minahasa Sizzy Matindas menjelaskan bahwa salah satu bahan yang membuat cita rasa klapertaart legit adalah rum.

“Buat orang Manado dan Minahasa, klapertar yang asli itu yang banyak rumnya. Semakin banyak rum, semakin mantap (rasanya),” kata Sizzy.

Menariknya, dalam pembuatan klapertar sekali pun, toleransi agama yang erat di kalangan masyarakat Minahasa terasa. Agar masyarakat Minahasa yang beragama Islam dapat menikmati klapertar, kue itu biasanya dibuat dalam dua jenis.

Klapertaart yang dijual akan dibuat dalam dua jenis, yaitu pakai rum dan tidak pakai rum. Biasanya ada tandanya (pada kemasan),” jelas Sizzy.

Tak hanya itu, Sizzy mengatakan bahwa di Kota Kawangkoan, Minahasa, terdapat kedai kopi legendaris yang sudah ada sejak zaman dahulu. Kedai kopi tersebut menyajikan kudapan berupa kacang kawangkoan yang khas serta biapong

Sizzy menjelaskan, biapong merupakan hidangan yang mendapat pengaruh dari etnis Tionghoa. Bentuknya seperti bakpao dengan isian yang beragam. 

Di sisi lain, Rikson menjelaskan, masyarakat sekitar Danau Tondano memiliki hidangan “wajib” yang disajikan untuk sehari-hari maupun saat ada acara besar, yaitu olahan ikan nike.

Sebagai informasi, ikan nike merupakan ikan endemik yang hidup di perairan Danau Tondano.

Ikan nike ditangkap dengan kearifan lokal, yakni mengambil secukupnya. (DOK. National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

“Orang Tondano punya teknik sendiri kalau masak (ikan nike), yaitu diolah seperti bakwan atau digoreng sampai garing. Ini merupakan makanan wajib bagi kami selain sambal,” kata Rikson.

Ikan tersebut diambil oleh masyarakat di sekitar Danau Tondano dengan kearifan tersendiri. Ikan biasanya ditangkap oleh para ibu dengan teknik tertentu, memanfaatkan papan untuk menjebak ikan dan jaring kecil. 

Memahami bahwa Danau Tondano adalah pemberian ilahi, ikan nike yang menjadi satwa endemiknya juga dijaga. Apabila sedang tidak musim kembang biak, nike tidak diambil banyak-banyak. Semua yang diambil masyarakat dari Danau Tondano hanya dalam jumlah secukupnya. 

Keragaman budaya yang dimiliki Minahasa, mulai dari kehidupan bermasyarakat hingga kulinernya, dapat menjadi daya tarik besar yang harus ditampilkan pada Minahasa Wakefest 2023.

Hal itu selaras dengan tema Minahasa Wakefest 2023, “Lake Tondano, Home for Everyone”, di mana masyarakat Minahasa punya kesempatan untuk menampilkan bagaimana mereka hidup berdampingan di tengah keragaman budaya, suku, dan agama.

“Ini acara yang satu paket komplet. Acara sport-nya sukses, kami juga dapat mempromosikan wisata Minahasa. Kami memilih tema ‘Lake Tondano, Home for Everyone’ adalah karena selling point kami adalah budaya dan masyarakat Minahasa,” kata Ketua Panitia Pelaksana Minahasa Wakefest 2023 Rio Dondokambey.