Bangkai Kapal Karam 'Batavia' dan Kisah Kelamnya dalam Sejarah Manusia

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 25 November 2023 | 15:00 WIB
Replika kapal Batavia. Kapal ini menyimpan kisah kelam para penyintasnya. Musibah ini dicatat dalam sejarah manusia. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Pesisir Australia bagian barat dipenuhi bangkai kapal yang memiliki kisah-kisah menakutkan. Dari sekian banyak, kapal Batavia memiliki kisah paling mengerikan. Pemberontakan, pembunuhan, dan perbudakan di antara para penyintasnya berlangsung selama berbulan-bulan setelah pelayaran perdana kapal tersebut. Kapal Batavia berakhir dengan tragis pada tahun 1629 dan terus dikenang dalam sejarah manusia.

Para arkeolog merilis studi baru tentang dampak kapal karam yang mendukung kisah bangkai kapal Batavia. “Hasil penelitian juga memberikan wawasan material yang tidak dapat Anda peroleh dengan cara lain,” kata Alistair Paterson, arkeolog di University of Western Australia.

Di bangkai kapal Batavia, ditemukan mayat-mayat orang yang meninggal karena berbagai sebab. Seperti dehidrasi dan penyakit, dibunuh, dan pelaku teror yang digantung.

“Ini mungkin merupakan bangkai kapal paling terkenal dalam sejarah manusia, terutama Australia,” kata arkeolog maritim Kieran Hosty, kurator di Museum Maritim Nasional Australia. “Kisah Batavia adalah kisah pertumpahan darah yang luar biasa,” tambahnya lagi.

Perjalanan yang tidak beruntung

Batavia merupakan kapal layar bertiang tiga. Pada tahun 1629, kapal ini berlayar menuju Hindia Belanda dan kandas di terumbu karang di Kepulauan Houtman Abrolhos. Kepulauan ini gersang, berada di lepas pantai Australia barat dan tidak dihuni oleh orang Eropa saat itu.

Sekitar 300 orang yang selamat berhasil mencapai sebuah pulau kecil, yang sekarang disebut Pulau Beacon, kira-kira 1,6 km jauhnya. Dalam beberapa hari, komandan kapal dan tim kecil berangkat dengan perahu kecil menuju Hindia Timur untuk meminta bantuan. “Mereka khawatir akan kekurangan air bila tidak melakukan tindakan apa-apa,” tulis Tom Metcalfe di laman National Geographic.

Sementara itu, banyak awak kapal mabuk yang tetap berada di kapal yang tertimpa musibah. Mereka dipimpin oleh Jeronimus Cornelisz, komandan ketiga di Batavia. Sang komandan ketiga rupanya telah merencanakan pemberontakan sebelum kapalnya karam. Ketika kapal itu hancur sekitar seminggu kemudian, anak buah Cornelisz berangkat ke Pulau Beacon.

Cornelisz segera mengetahui bahwa orang-orang yang selamat mengetahui rencana pemberontakannya. Para pemberontak itu pasti akan dihukum ketika komandan Batavia kembali setelah mendapatkan bantuan. Maka ia pun memerintahkan semua senjata milik para penyintas disita.

“Banyak yang dibuang ke pulau-pulau terdekat,” tambah Metcalfe. Lebih dari 100 pria, wanita, dan anak-anak yang tersisa dibantai atau diperbudak.

Pemerintahan despotik Cornelisz dan antek-anteknya berlangsung selama 5 bulan. Sampai akhirnya mereka ditangkap oleh awak kapal penyelamat dari Hindia Belanda. Cornelisz dan enam anak buahnya digantung di dekat Long Island pada bulan Oktober 1629. Peristiwa itu merupakan eksekusi paling awal yang diketahui di Australia.

Dehidrasi, penyakit, dan kekerasan

Bangkai kapal Batavia ditemukan pada tahun 1963 dan penggalian bawah air dilakukan pada tahun 1970-an. Sebagian lambung kapal diangkat dan dipajang di Museum Maritim Australia Barat di Freemantle.

Beberapa situs di pulau-pulau yang terkait dengan bangkai kapal tersebut juga digali selama beberapa dekade berikutnya. Penemuan terbaru ini merupakan hasil penelitian arkeologi Paterson dan rekan-rekannya antara tahun 2014 hingga 2019. Penemuan tersebut termasuk kuburan belasan orang di Pulau Beacon. Mereka kemungkinan meninggal karena dehidrasi atau penyakit sebelum pemberontak mengambil alih kendali.

Para penyintas disiksa oleh komandan ketiga kapal Batavia. Banyak dari korban pertama kali diasingkan oleh para pemberontak ke Long Island sebelum dibunuh. (Pelsaert, F., & Vliet, J.)

Penggalian sebelumnya mengungkapkan tanda-tanda kematian akibat kekerasan dan jenazahnya segera dikuburkan di kuburan dangkal. Namun kuburan-kuburan ini tampak tertata rapi dan tanpa tanda-tanda trauma.

Beberapa korban tewas dikuburkan bersama barang-barang pribadinya: sendok timah, sisir, beberapa manik-manik kuning. Paterson mengatakan analisis isotop dan tes lainnya kini akan dilakukan pada sisa-sisa tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui lebih banyak tentang orang-orang yang terkubur di sana.

Banyak dari korban pertama kali diasingkan oleh para pemberontak ke Long Island sebelum dibunuh. Pulau itu jaraknya kurang dari 1,6 km dari Pulau Beacon. Mayat mereka dibuang ke laut untuk menutupi pembunuhan massal. “Ada upaya untuk menyembunyikannya,” kata Paterson.

Perlawanan putus asa

Para arkeolog juga telah menciptakan model 3D fotogrametri dari sebuah bangunan batu di Pulau Wallabi Barat. Mereka menemukan sisa-sisa perlawanan yang tidak terduga terhadap para pemberontak. Sekelompok tentara yang terdiri dari sekitar 20 orang dari Batavia telah dilucuti senjatanya. Mereka dibuang oleh Cornelisz ke Wallabi Barat, pulau terbesar di gugusan pulau Houtman Abrolhos.

Para prajurit beruntung bisa menemukan air dan makanan. “Prajurit kemudian menarik orang-orang yang selamat untuk melarikan diri dari Pulau Beacon,” tambah Metcalfe. Warga Wallabi Barat sukses menangkis dua serangan anak buah Cornelisz.

Menurut komandan kapal, para prajurit siap untuk membela diri jika para pemberontak datang untuk melawan mereka. Untuk itu, mereka pun membuat senjata dari lingkaran dan paku. Senjata itu kemudian diikat ke tongkat.

Para arkeolog menemukan senjata darurat serupa di dekat Long Island. Senjata tersebut berupa pentungan atau gada yang terbuat dari timah yang dilipat. Terdapat lubang untuk paku yang menonjol.

Penemuan lain yang dilakukan di Long Island adalah sisa-sisa tiang gantungan tempat Cornelisz dan kaki tangannya dieksekusi. Menurut penuturan sang komandan, tangan mereka terlebih dahulu dipotong. “Sebuah hukuman yang umum di Belanda pada saat itu,” kata Paterson.

Dua pemberontak lainnya, yang dinilai tidak terlalu bersalah, terdampar di daratan Australia. Mereka adalah orang Eropa pertama yang menetap secara permanen di Australia. Apa yang terjadi pada mereka setelah menetap pun tidak diketahui.

Kisah brutal Batavia kini diakui sebagai momen penting dalam sejarah awal kolonial Australia. Kisah kelamnya bahkan menjadi subjek sebuah opera.

Kisah Batavia sering kali diperjuangkan oleh warga Australia bagian barat. “Terkadang sebagai alternatif dari kisah tentang koloni narapidana awal di bagian timur negara yang luas tersebut,” imbuh Metcalfe.

Paterson menambahkan bahwa hal ini menunjukkan bahwa ada lebih banyak hal dalam sejarah awal Eropa di Australia. Jadi, tidak hanya penjelajahan Kapten Cook pada tahun 1770-an saja. “Ini adalah pengingat bahwa bagian lain dari sejarah juga relevan dengan Australia,” katanya.