Dangdut, Cerita Musik Rakyat yang Kemudian Diputar dalam Acara Pejabat

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 29 November 2023 | 09:00 WIB
Rhoma Irama dan band dangdut asal Pittsburgh, AS, Dangdut Cowboys tampil satu panggung dalam peringatan 70 tahun hubungan Indonesia-AS. Dangdut pada awalnya dianggap sebagai musik rakyat yang dipandang rendahan. Kemudian mendulang popularitas hingga sering diputar oleh kalangan elite seperti pejabat. (State Dept. / Erik A. Kurniawan, Andrie Darmawan, Rifky Suryadinata/Flickr)

Nationalgeographic.co.id—Seperti kata Project Pop, "dangdut is the music of my country". Dangdut sangat identik sebagai kesenian musik genre yang begitu ramai bergaung di Indonesia. Sebagian ahli menyatakan bahwa dangdut berasal dari kesenian musik melayu, terutama di Deli, Sumatra Utara.

Sementara pendapat lain menyebutkan dangdut, walau identik dengan musik Indonesia, sejatinya dipengaruhi kesenian musik dari India dan Arab. Pendapat kedua ini juga benar karena instrumennya menggunakan gendang, tanjidor, dan gambus. (Baca: Sejarah Dangdut, Musik Nusantara yang Tak Pernah Dilekang Waktu)

Percampuran budaya

Sejatinya, irama melayu yang kelak akan berkembang menjadi dangdut, sejatinya sudah ada di berbagai daerah di Indonesia sejak lama. Irama melayu ini menjadi hiburan bagi masyarakat daerah tertentu yang kemudian menjadi populer, terutama di daerah yang kosmopolit dengan masyarakat yang heterogen seperti Jakarta.

Dalam makalah bertajuk Dangdut: Sebuah realita globalisasi kebudayaan Timur dan Barat oleh Derta Arjaya dan tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan bahwa perpaduan kebudayaan dan perkawinan antargolongan dan antaretnis, menyebabkan popularitasnya kebudayaan Melayu. Percampuran ini sangat masif pada abad ke-19.

Hal ini yang kemudian menyebabkan kesenian Melayu juga begitu kuat dalam kesenian Betawi, terang para peneliti dalam jurnal Sejarah dan Budaya. Selain Melayu, kesenian daerah dan etnis lainnya seperti Jawa, Tionghoa, dan Arab berpadu melahirkan kebudayaan Betawi.

Sejak lama, pesisir utara Pulau Jawa merupakan daerah perniagaan dan transportasi dari atau ke luar Jawa. Berbagai masyarakat berdatangan, terutama ketika masa kolonialisme Hindia Belanda, dari Sumatra, Sulawesi, Tiongkok, dan Arab. Pada akhirnya, kesenian yang dibawa oleh pendatang pun meresap masuk ke dalam kesenian yang sudah ada. 

Begitu pula pada musik. Percampuran ini, menurut Irfan R. Darajat dalam buku Irama Orang-orang (Menolak) Kalah, yang kelak akan memunculkan berbagai jenis musik dangdut seperti dangdut pantura (koplo), dangdut jaipong, dangdut jatilan, dan masih banyak lagi. 

Musik yang mendorong kehadiran dangdut di Jawa adalah salah satunya unsur kelokalan seperti keroncong yang kemudian menjadi congdut atau campursari.

Dangdut sebagai musik rakyat

Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada dekade akhir 1950-an, dangdut menjadi musik lokal yang bergenderang popularitasnya bagi masyarakat. Hal itu dipicu oleh peraturan Presiden Sukarno yang melarang berbagai musik barat seperti rok diputar. Sukarno menilai, musik barat sangat kontra dengan semangat revolusi yang diperjuangkan di Indonesia.

Pada 1964, Sukarno menyatakan bahwa musik barat seperti 'ngak ngik ngok' yang diinterpretasikan sebagai musik The Beatles (mungkin diambil dari intro harmonika lagu Love Me Do), membahayakan semangat gotong royong Indonesia, dan membawa liberalisme.

Atas seruan ini, Pemerintah Indonesia dengan tegas kebudayaan barat. Berbagai rekaman fisik seperti piringan hitam yang memproduksi musik dan film dari Barat dimusnahkan. Berbagai produk musik di Indonesia berjaya, walau instrumennya pun masih dipengaruhi kebudayaan Barat. (Baca: Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?)

Meski demikian, musik dangdut tidak begitu populer. Begitu pula pada masa berikutnya ketika Soeharto berkuasa, membuka pengaruh kebudayaan Barat ke Indonesia pada 1970-an.

Film Warkop DKI 'Mana Tahaaan' menghadirkan kesenian musik dangdut pada masyarakat Indonesia lebih luas. Salah satu bintangnya adalah Elvy Sukaesih yang merupakan musisi dangdut yang tersohor pada masanya. (Prambors/Public Domain/Wikimedia Commons)

Masa ini lebih membuat seniman Indonesia terdorong mengadopsi kebudayaan Barat yang dinilai 'keren'. Pada musik, musisi mengadopsi pula cara bermusik yang sedang populer di Barat seperti musik rok. 

Bagi kalangan orkes melayu atau dangdut, pengaruh bollywood dengan irama India, juga diadopsi. Hanya saja, dangdut tidak begitu dilirik karena dipandang sebagai masyarakat pinggiran dan dianggap sebagai musik kaum rendahan.

Namun popularitas dangdut mendapat panggung pada dekade akhir 1970-an, tepanya ketika Rhoma Irama bersama kelompok Soneta ramai di media. Mereka berhasil tayang di TVRI yang merupakan satu-satunya kanal televisi di Indonesia saat itu.

Pada awalnya, dangdut dianggap musik rendahan yang identik dengan masyarakat yang urakan. Rhoma Irama hadir membawakan dangdut yang cenderung bermoralitas dan dekat dengan agama. Rhoma mengeklaim bahwa dirinya mengangkat dangdut menjadi kesenian yang lebih bermoral.

'Dangdut invasion'

Dampak dari Rhoma dan grup Soneta ini memengaruhi cara bermusik pada masanya. Irfan, dalam bukunya, mengungkapkan bahwa beberapa band dan musisi yang awalnya memandang sebelah mata dan mencibir dangdut, kemudian terbawa untuk membawa irama dangdut.

Dangdut semakin populer pada 1980-an, terutama ketika musisinya pun terlibat dalam produksi film. Misalnya, Elvy Sukaesih yang membawakan lagu dangdut dan hadir sebagai pemeran di film Warkop DKI Mana Tahan (1979), atau Rhoma Irama yang menjadi bintang utama film Satria Bergitar (1984).

Era 1980-an membuat dangdut menjadi lebih luas kepada masyarakat, terlepas dari kelas sosial-ekonominya. Musik dangdut populer pun diputar dalam stasiun radio biasanya dikenal bergengsi seperti PramborsPrambors bahkan menghadirkan kelompok bernuansa dangdut ala Betawi seperti OM PMR.

Musik dangdut menarik perhatian negara karena memberikan sumbangan ekonomi. Derta dalam Dangdut dan Rezim Orde Baru: Wacana Nasionalisasi Musik Dangdut tahun 1990-an mengungkapkan, penjualan musik dangdut sangat meningkat pada 1980-1990-an awal.

Salah satu yang laris adalah kaset musik dari Itje Trisnawati yang mampu menjual satu juta kaset pada 1989. Pendapatan negara dari pajak kaset ini adalah sekitar Rp100 juta atau setara Rp1 miliar dalam kurs tahun 2016.

Oleh karena itu, pemerintahan Orde Baru mewacanakan dangdut sebagai musik nasional pada awal 1990-an. Dari segi kebudayaan, dangdut dinilai sangat erat dengan entitas keindonesiaan.

Penampilan Happy Asmara di SMA Negeri 2 Pare, Kediri, Jawa Timur. Happy dan beberapa artis dangdut koplo papan atas lainnya hadir dari panggung ke panggung di daerah yang kemudian dipopulerkan oleh media rekaman yang diadakan penyelenggara acara. (Rassya LN22/Wikimedia Commons)

Musisi-musisi dangdut kemudian menghiasi beberapa acara kenegaraan, salah satunya yang pertama pada hari kemerdekaan Indonesia tahun 1995. Siarannya pun ditayangkan oleh TV nasional seperti TVRI yang kemudian berdampak pada peran upaya menasionalisasikan musik dangdut.

Musik bajakan dan acara para pejabat

Ketika rezim Orde Baru tumbang pada 1998 akibat krisis ekonomi setahun sebelumnya, industri musik berdampak. Irfan mengungkapkan, musik bajakan sangat tumbuh saat inflasi menerpa.

Meski demikian, musik bajakan justru memperkuat lagu-lagu dangdut, khususnya dangdut daerah seperti koplo dan jaipongan, serta perkembangan musik dangdut elektronik yang berkembang seperti funky kota (funkot). Lagu bajakan berperan pada promosi para musisi untuk menjangkau lebih banyak pendengar.

Legalitas musik bajakan kemudian mencuat pada 2010-an dan peraturannya disahkan pada 2014. Meski demikian, dangdut sudah sangat populer dan melekat kepada masyarakat. Berbagai penyedia layanan musik streaming seperti YouTube dan Spotify memudahkan masyarakat mendengarkan dangdut.

Menjelang kematiannya, Didi Kempot mendulang popularitas yang tinggi oleh masyarakat lewat dangdut campursari yang semakin dikenal secara luas. Dangdut yang pada awalnya dipandang sebelah mata menjadi musik yang menjamah pasar. (Public Domain/Picryl)

Pada era 2000-an, industri musik dangdut berubah. Banyak acara yang merekam penampilan dangdut dalam hajatan di daerah yang kemudian didistribusikan. Hal ini memberi keuntungan materi banyak seperti penyedia acara dan penyelenggara acara.

VCD dan DVD hasil rekaman diperjualbelikan di pasar dan diputar di banyak tempat. Ditambah dengan layanan musik streaming, memudahkan masyarakat mengenal musisi-musisi dangdut lokal seperti Nella Kharisma, Via Vallen, Happy Asmara, dan termasuk yang kontroversial seperti Inul Daratista dan Duo Serigala.

Popularitas dangdut juga mendorong suksesnya musisi campursari lama seperti Didi Kempot yang sebelumnya hanya dikenal di daerahnya sendiri.

Musisi-musisi ini hadir dengan berbagai perhelatan musik yang diselenggarakan berbagai pihak di daerahnya. Sering kali, pejabat daerah menyelenggarakan penampilan musik dangdut yang kemudian mempopulerkan musisi. Popularitas dangdut tentunya mendorong para pejabat dan calon pejabat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Hari ini, dangdut, apa pun jenisnya, begitu menjamur. Pada 2018, ketika Nella Kharisma dan Via Vallen meledak di pasar musik, tidak jarang lagu-lagu mereka diputar, bahkan di lingkungan elite sekalipun. 

Tidak hanya musisi tunggal, banyak kelompok musik dangdut yang bermunculan dan dihadirkan anak muda sejak 1990-an dengan lirik menggelitik. Mulai dari Barakatak dari Jawa Barat hingga Orkes Pensil Alis dari Yogyakarta, mewarnai kancah musik populer dengan genre dangdut.