Keturunannya sempat berupaya untuk mejual kelewang ini ke Museum Bronbeek pada 1950-an. Penjualan ini batal karena museum tidak punya anggaran untuk membelinya.
Verhoeven menngatakan, pedang pribadi De Kock ini dipamerkan di Istana Het Loo di Apeldoorn dalam bentuk koleks pribadi. "Dipamerkan di sana bersama dengan lukisan besar karya De Kock," terangnya.
"[Setelah ] itu [sempat] dipinjamkan ke Museum of the Chancellery pada tahun 1974 oleh keturunan De Kock, dan 12 tahun kemudian pinjaman itu dibah menjadi sumbangan," lanjut Verhoeven. Kelewang ini kemudian berakhir di gudang Museum Bronbeek yang kemudian seperti ditelantarkan.
Nagelvoort menjelaskan, kelewang ini berbeda dengan senjata Pangeran Dipanagara seperti keris Naga Siluman atau Tongkat Kiai Cakra. Penggunaannya tidak untuk ritual yang berhubungan dengan keyakinan sang pangeran. Kelewang ini memang murni senjata perang karena memiliki tanda-tanda lecet dan lekukan sebagai sisa penggunaan.
“Ini jejak-jejak proses penempaan. Terlihat dari bentuknya bahwa ini bukanlah senjata tajam Eropa," jelasnya.
"Bentuknya melengkung, seperti sejumlah senjata Jawa lainnya—gobang—yang kami miliki dalam koleksi kami. Ini adalah senjata tempur yang benar-benar digunakan, bukan pedang seremonial.”
Verhoeven menjelaskan, senjata ini bukan milik sembarang orang seperti prajurit biasa yang memberontak di medan perang. "Klaim seperti ini akan datang dari Indonesia, dan ini bukan menyangkut sembarang orang, melainkan seorang tokoh legendaris dalam sejarah negara tersebut. Bagi banyak orang, senjata ini punya jiwa—pusaka—Diponegoro," tuturnya.