Nationalgeographic.co.id—Pangeran Dipanagara tidak hanya memiliki satu pedang saat terjun ke laga perang. Dia memiliki beberapa pedang yang masing-masing punya kegunaan. Ada pula, pedang atau keris yang digunakan Dipanagara dipilih karena kesaktian yang terkandung.
Setelah kalah dalam Perang Jawa yang berlangsung dari 1825-1830, berbagai barang yang identik dengannya dilucuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Barang-barang itu mulai dari keris Kiai Naga Siluman, tongkat Kiai Cakra, hingga kelewang yang dijadikan sebagai "piala" kemenangan untuk dibawa ke Belanda.
Bagi orang Jawa, kehilangan senjata tajam seperti keris dan kelewang justru berdampak negatif, apalagi jika berasal dari orang yang awalnya memiliki kuasa seperti Pangeran Dipanagara. Hilangnya senjata berarti telah hilang "keperkasaan" atau "kekuasaannya".
Dua abad berlalu, hari ini Belanda dan Indonesia tengah berada dalam upaya repatriasi. Berbagai barang peninggalan semasa penjajahan dikembalikan ke Indonesia, sebagai mewujudkan semangat dekolonisasi yang berkembang di Eropa. Salah satu di antaranya adalah keris Pangeran Dipanagara yang dikembalikan tahun 2020.
Rupanya, masih ada lagi senjata tajam milik pangeran asal Yogyakarta tersebut yang masih tertinggal di Belanda, yakni kelewang.
Kelewang, senjata tajam dengan ujung mata melengkung, milik Pangeran Dipanagara itu sempat dipamerkan di Istana Het Loo, Apeldoorn (75 kilometer dari Amsterdam). Kemudian keberadaannya berakhir di gudang ruang bawah tanah Museum Bronbeek, Arnhem.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan bagi pegiat benda bersejarah, dari sekian upaya repatriasi peninggalan Pangeran Dipanagara dari Belanda ke Indonesia, mengapa kelewang ini tidak berada dalam daftar permintaan untuk dikembalikan?
"Sederhana," kata John Klein Nagelvoort, dikutip dari NRC. "Mereka (Indonesia) tidak tahu kalau benda itu masih ada."
Nagelvoort adalah adalah peneliti di Museum Broonbeek yang mengabarkan keberadaan kelewang milik Dipanagara bersama Pauljac Verhoeven. Kelewang ini ditemukan setelah Nagelvoort membuka peninggalan yang ada di gudang museum.
Mereka menerangkan, pada awalnya, kelewang ini tidak diketahui siapa pemiliknya. Keduanya segera melakukan penelitian melalui arsip yang ada di Bronbeek, berupa surat dari tahun 1956. Surat tersebut menyatakan bahwa kelewang itu asalnya dari keluarga Hendrik Merkus de Kock, mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
De Kock juga merupakan salah satu tokoh militer tertinggi di Hindia Belanda yang memenangi Perang Jawa. Setelah perang, De Kock menjadikan pedang tersebut sebagai barang pribadinya.
Keturunannya sempat berupaya untuk mejual kelewang ini ke Museum Bronbeek pada 1950-an. Penjualan ini batal karena museum tidak punya anggaran untuk membelinya.
Verhoeven menngatakan, pedang pribadi De Kock ini dipamerkan di Istana Het Loo di Apeldoorn dalam bentuk koleks pribadi. "Dipamerkan di sana bersama dengan lukisan besar karya De Kock," terangnya.
"[Setelah ] itu [sempat] dipinjamkan ke Museum of the Chancellery pada tahun 1974 oleh keturunan De Kock, dan 12 tahun kemudian pinjaman itu dibah menjadi sumbangan," lanjut Verhoeven. Kelewang ini kemudian berakhir di gudang Museum Bronbeek yang kemudian seperti ditelantarkan.
Nagelvoort menjelaskan, kelewang ini berbeda dengan senjata Pangeran Dipanagara seperti keris Naga Siluman atau Tongkat Kiai Cakra. Penggunaannya tidak untuk ritual yang berhubungan dengan keyakinan sang pangeran. Kelewang ini memang murni senjata perang karena memiliki tanda-tanda lecet dan lekukan sebagai sisa penggunaan.
“Ini jejak-jejak proses penempaan. Terlihat dari bentuknya bahwa ini bukanlah senjata tajam Eropa," jelasnya.
"Bentuknya melengkung, seperti sejumlah senjata Jawa lainnya—gobang—yang kami miliki dalam koleksi kami. Ini adalah senjata tempur yang benar-benar digunakan, bukan pedang seremonial.”
Verhoeven menjelaskan, senjata ini bukan milik sembarang orang seperti prajurit biasa yang memberontak di medan perang. "Klaim seperti ini akan datang dari Indonesia, dan ini bukan menyangkut sembarang orang, melainkan seorang tokoh legendaris dalam sejarah negara tersebut. Bagi banyak orang, senjata ini punya jiwa—pusaka—Diponegoro," tuturnya.