Penjelasan Sains di Balik Misteri Orang-Orang Berkulit Biru di Kentucky

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 2 Desember 2023 | 15:00 WIB
Martin Fugate, Elizabeth Smith, dan anak-anak mereka. Mereka dikenal sebagai orang-orang berkulit biru yang misterius. (williamdefalco/Youtube)

Nationalgeographic.co.id – Saat itu tahun 1820. Seorang pria yatim piatu asal Perancis bernama Martin Fugate baru saja tiba di Troublesome Creek, sebuah permukiman terpencil dan sepi di bagian timur Kentucky.

Di sini Martin Fugate berencana untuk memulai sebuah keluarga dengan istri barunya, seorang wanita berambut merah bernama Elizabeth Smith. Elizabeth Smith digambarkan sebagai orang yang pucat “seperti pohon salam gunung yang mekar setiap musim semi di sekitar cekungan sungai”.

Masalahnya adalah Fugate tidak seperti pria lain di daerah itu. Dia memiliki kelainan genetik langka yang membuat kulitnya berwarna biru indigo.

Pasangan itu kemudian memiliki tujuh anak dan empat di antaranya, seperti ayah mereka, berkulit biru.

Maju cepat ke tahun tujuh puluhan: Benjamin Stacy baru saja lahir. Stacy adalah cicit dari Martin Fugate dan Elizabeth Smith. Pada titik ini, orang-orang biru di Kentucky sebenarnya sudah tidak ada dan hanya tinggal kenangan.

Namun, yang mengejutkan orang tuanya dan staf rumah sakit, Stacy mewarisi warna biru khas keluarga leluhurnya.

Hal ini disebabkan adanya kondisi yang disebut methemoglobinemia, yang menyebabkan kadar methemoglobin dalam sel darah merah meningkat di atas 1 persen. Kulitnya menjadi biru, bibirnya menjadi ungu, dan darahnya menjadi cokleat kokoa.

Methemoglobinemia dapat dipicu oleh paparan bahan kimia tertentu (misalnya benzokain dan xilokain). Namun dalam kasus ini, penyakit ini diturunkan dan merupakan produk dari gen yang salah yang kemungkinan besar menyebabkan kekurangan enzim yang disebut sitokrom-b5 methemoglobin reduktase.

Silsilah Keluarga Fugate

Untungnya bagi Martin Fugate dan kerabatnya, tidak ada masalah kesehatan fisik yang terkait dengan kulit biru mereka. Faktanya, sebagian besar dari mereka bertahan hingga usia delapan puluhan dan sembilan puluhan.

Namun bukan berarti hal ini tidak menimbulkan rasa malu dan trauma psikologis yang mendalam. Keluarga itu merasa malu dan didiskriminasi oleh masyarakat setempat karena warna kulit mereka.

Diskriminasi tersebut menyebabkan mereka mencari isolasi sosial yang lebih besar, yang ironisnya justru memperburuk masalah. Hal ini karena methemoglobinemia, dalam hampir semua kasus, merupakan hasil perkawinan sedarah.