Bagaimana Napoleon Meninggal: Kanker Perut, Racun, atau Hal Lain?

By Tri Wahyu Prasetyo, Rabu, 6 Desember 2023 | 12:28 WIB
Napoleon Bonaparte diduga meninggal setelah menderita kanker perut. Meski demikian, terdapat beberapa pendapat lain mengenai penyebab kematian Napoleon. (Via History Extra)

Nationalgeographic.co.id—Kematian Napoleon Bonaparte penuh dengan kejadian aneh dan kontroversi. Mengapa Napoleon berada pada sebuah pulau di lepas pantai Afrika? Seperti apa kondisi kesehatannya di hari-hari terakhirnya? Dan apa yang terjadi dengan penisnya?

Tak hanya politik dan perjuangannya saja, namun hari-hari terakhir Napoleon dan kematiannya adalah kisah menarik yang hampir sama pentingnya untuk diketahui.

Napoleon kemungkinan besar meninggal karena kanker perut. Dia sering mengeluh sakit maag, dan ayahnya juga meninggal karena penyakit yang sama. Namun di sisi lain, setelah dilakukan autopsi, ditemukan tukak yang mungkin disebabkan kanker, atau sebaliknya.

Namun, terdapat teori lain. Dilansir dari laman History Cooperative, Thomas Gregory menjelaskan bahwa Napoleon diketahui meminum "Sirup Orgeat" dalam jumlah besar. Diketahui sirup tersebut mengandung sedikit sianida.

“Dikombinasikan dengan perawatan untuk maagnya, secara teori mungkin saja dia tidak sengaja overdosis,” kata Gregory.

Teori populer lainnya, yang pertama kali dikemukakan oleh pelayan Napoleon di Pulau Saint Helena, adalah bahwa Napoleon sengaja diracuni, mungkin dengan Arsenik. Pada waktu itu, Arsenik sangatlah populer sebagai alat pembunuh. 

Ada banyak bukti tidak langsung yang mendukung teori ini. Napoleon tidak hanya memiliki musuh pribadi di pulau itu, tetapi pembunuhannya akan menjadi pukulan politik bagi mereka yang masih mendukungnya di Prancis.

Ketika jasadnya dilihat beberapa dekade kemudian, para dokter mencatat bahwa jasadnya masih terawetkan dengan baik, sebuah fenomena yang biasa terjadi pada beberapa korban keracunan arsenik. Kadar arsenik yang tinggi bahkan telah ditemukan pada rambut Napoleon selama penelitian abad ke-21.

Namun, para peneliti menunjukkan bahwa orang-orang sezamannya, termasuk anggota keluarganya, juga ditemukan dengan kadar arsenik yang tinggi. 

Hal tersebut, Gregory menjelaskan, mungkin bukan disebabkan oleh keracunan arsenik, melainkan “karena paparan jangka panjang terhadap zat tersebut saat masih kecil.”

Akhirnya, banyak sejarawan berpendapat bahwa penyakit dan kematian Napoleon merupakan konsekuensi jangka panjang dari percobaan bunuh diri yang dilakukannya ketika ia diasingkan ke Elba.

Hari-hari akhir dan Kematian Napoleon di Pulau Saint Helena

Dalam sejarah dunia, Napoleon Bonaparte memiliki kehidupan dan prestasi yang luar biasa. Malangnya, ia harus menjalani tahun-tahun mengenaskan di akhir hidupnya. Diawali dengan pengasingan yang memalukan, Napoleon meninggal secara misterius di usianya yang ke-51. (Horace Vernet/Museum of the Legion d'Honneur)

Berkat memoarnya dan dokumen lain dari masa itu, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang kehidupan sehari-hari di St Helena bagi kaisar yang diasingkan itu.

Napoleon adalah orang yang bangun terlambat, sarapan pada pukul 10 pagi sebelum menyiapkan diri di ruang kerja. Meskipun ia memiliki izin untuk bepergian dengan bebas ke seluruh pulau jika ditemani oleh seorang perwira, ia jarang menggunakan kesempatan itu.

Sebaliknya, ia mendiktekan memoarnya kepada sekretarisnya, membaca dengan tekun, mengambil pelajaran untuk belajar bahasa Inggris, dan bermain kartu.

“Napoleon telah mengembangkan sejumlah versi solitaire dan, pada bulan-bulan terakhir hidupnya, mulai membaca koran harian dalam bahasa Inggris,” kata Gregory.

Napoleon makan dengan baik, memiliki perpustakaan yang besar, dan menerima korespondensi dari luar negeri secara teratur. 

Meskipun memiliki kehidupan yang jauh lebih baik daripada tahanan biasa pada saat itu, Napoleon hidup dalam tekanan. Kurangnya komunikasi dengan istrinya dan tidak mendengar kabar putranya, membuatnya tersiksa.

Napoleon tidak berhubungan baik dengan Sir Hudson Lowe, gubernur pulau tersebut. Permusuhan ini berubah menjadi pahit ketika Lowe memerintahkan sekretaris Bonaparte ditangkap dan diusir karena kejahatan yang tidak diketahui.

Lowe juga memecat dua dokter pertama Bonaparte. Hal ini karena mereka merekomendasikan agar rumah yang berangin dan kurangnya fasilitas medis modern diperbaiki demi kesehatan Napoleon.

Pada tanggal 5 Mei 1821, Napoleon meninggal dengan tenang di Longwood House di pulau Saint Helena. Ia meninggal di usia 51 tahun setelah terbaring di tempat tidur selama beberapa hari.

Napoleon dianggap telah menjalani hidup yang panjang dan relatif sehat untuk seorang pria yang terpapar banyak pertempuran, penyakit, dan stres.

“Harapan hidup pada masa itu umumnya 30 hingga 40 tahun,”  jelas Gregory. “Buonaparte telah terluka dalam pertempuran pada tahun 1793, terkena peluru di kakinya, dan, sebagai seorang anak, kemungkinan telah terpapar arsenik dalam jumlah besar.”

Pada tahun 1840, Raja Prancis Louis Philippe I, mengajukan petisi kepada Inggris untuk mendapatkan jenazah Napoleon. 

Pemakaman resmi kenegaraan diadakan pada 15 Desember 1840. Jenazahnya disemayamkan di Kapel St Jerome hingga tempat peristirahatan terakhir dibangun untuk mendiang kaisar. 

Pada tahun 1861, jasad Napoleon akhirnya dimakamkan di dalam sarkofagus yang masih bisa dilihat di Hotel Des Invalides hingga saat ini.

Apa yang Terjadi pada Penis Napoleon?

Kisah penis Napoleon Bonaparte hampir sama menariknya dengan kisah pria itu sendiri. Penis ini telah berkeliling dunia, berpindah-pindah tangan dari para pendeta, aristokrat, dan kolektor, dan sekarang berada di sebuah lemari besi di New Jersey.

Abbe Anges Paul Vignali adalah pendeta Napoleon di St Helena. Beberapa ahli teori konspirasi abad ke-20 percaya bahwa Abbe meracuni Napoleon dan meminta penisnya sebagai bukti kekuasaannya atas kaisar yang lemah itu.

Apapun motivasinya, penis itu pasti ditempatkan di tempat penyimpanan sang pendeta, dan tetap menjadi milik keluarganya hingga tahun 1916.

Maggs Brothers, sebuah toko buku antik, membeli "benda" tersebut dari keluarga itu sebelum menjualnya ke toko buku di Philadelphia delapan tahun kemudian. Pada tahun 1927, Museum Seni Prancis di New York City meminjamkan benda tersebut untuk dipamerkan.

Selama lima puluh tahun berikutnya, Gregory menjelaskan, penis itu berpindah-pindah tangan di antara para kolektor hingga pada tahun 1977, penis tersebut dibeli oleh ahli urologi John K. Lattimer.

“Sejak membeli penis tersebut, hanya sepuluh orang di luar keluarga Lattimer yang pernah melihat artefak tersebut,” kata Gregory.