Kisah Fei Febri Beralih dari Perusahaan Multinasional ke Pengelolaan Sampah Lokal

By Utomo Priyambodo, Jumat, 8 Desember 2023 | 13:00 WIB
Fei Febri di gudang pengolahan sampah Bank Sampah Bersinar di Bandung. Fei Febri rela banting setir karier melepaskan pekerjaan mapan di perusahaan multinasional demi mengelola sampah lokal. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Keputusan krusial yang diambil Fei Febri pada awal 2019 menimbulkan tanda tanya besar. Pada Februari tahun itu Fei banting setir karier. Ia yang semula menjabat sebagai corporate support division head—membawahi bidang HRD, GA, Legal, Procurement, dan MIS—di salah satu perusahaan multinasional, memilih untuk terjun ke bidang pengelolaan sampah lokal di Bandung.

Kini, lulusan Fakultas Hukum Unpad itu menjabat sebagai CEO Bank Sampah Bersinar. Perusahaan itu kini telah telah memiliki 1.500 titik edukasi dan 11.000 nasabah terdaftar, serta mengelola lebih dari 2 juta ton sampah. Perusahan juga punya 782 bank sampah unit di 7 kabupaten/kota: Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Toba, serta Kota Sorong, persisnya di Pulau Doom.

“Saya ingin menyelesaikan dua persoalan dalam satu waktu,” kata Fei yang menjelaskan Bank Sampah Bersinar sedang bergulat mengatasi permasalahan lingkungan sekaligus problem sosial. Berikut petikan hasil wawancara kami dengan perempuan kelahiran Bandung, 4 Februari 1985 itu.

Ceritakan pandangan Anda soal permasalahan sampah di Indonesia.

Salah keunggulan Indonesia adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Ini menjadi bonus demografi di satu sisi, tapi di sisi lain ini menjadi sumber masalah. Karena kalau kita berbicara tentang lingkungan, masalah lingkungan itu berasal dari manusia. Ada satu buku yang saya baca. Katanya nih, kalau di bumi ini enggak ada manusia, selama 50 tahun bumi bisa kembali memulihkan dirinya sendiri.

Karena memang ternyata aktivitas yang dilakukan manusia itu yang membuat masalah terhadap lingkungan. Bayangkan saja apa yang kita konsumsi setiap hari, kemudian bagaimana kita pergi ke sana- kemari menggunakan kendaraan, dan banyak aktivitas lainnya yang ternyata menimbulkan masalah buat lingkungan. Dan semuanya akibat keegoisan dari manusia itu sendiri. Kita ingin berwisata, malah kita rusak alamnya.

Dan satu yang jadi kegelisahan saya sendiri itu adalah dari sisi sampah. Kenapa? Karena saya menghasilkan sampah setiap hari. Dan yang tadi, kenapa saya bilang itu keegoisan. Karena selama ini kita hanya pilih untuk mengumpulkan sampah kita, kita taruh di depan rumah dan kita pengen tukang sampah segera mengangkutnya entah ke mana yang penting rumah kita bersih dari sampah.

Fei Febri, CEO Bank Sampah Bersinar, sedang berada gudang pengumpulan dan pemilahan lebih lanjut sampah sebelum sampah-sampah itu dibawa ke industri daur ulang. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Mengapa Anda yang sudah punya karier mapan di perusahaan multinasional, malah banting setir ke bidang pengelolaan sampah lokal?

Itu yang ditanyakan hampir semua orang, termasuk keluarga saya juga, saat saya memutuskan untuk resign dan memilih apa yang saya lakukan sekarang. Mungkin setiap orang akan mengalami fase ini juga. Cuma fase saya saat itu datang lebih awal di mana saya merasa kayaknya saya harus melakukan sesuatu untuk Indonesia dan untuk masyarakat.

Saya sudah berjuang dan mengejar karier yang saya mau, tapi sepertinya ada satu hal yang masih kurang. Saya sangat suka selalu berada di tengah masyarakat. Saya senang sekali berhubungan dengan isu-isu sosial dan bisa mencari solusinya. Saya ingin memberikan apa yang saya bisa, mengajarkan perempuan-perempuan, ibu-ibu, agar mereka bisa lebih berdaya.

Kegiatan pengelolaan sampah di gudang Bank Sampah Bersinar di Bandung. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Sebenarnya apa yang Anda lakukan lewat Bank Sampah Bersinar?

Jadi Bank Sampah Bersinar ini bukan tempat ngumpulin sampah, melainkan adalah tempat edukasi kepada masyarakat untuk mengelola sampah secara bertanggung jawab. Kami memberi edukasi bagaimana cara memilah sampah. Mulai dari bagaimana mengurangi sampah, bagaimana memilah sampah. Lalu kami memberikan reward juga atas upaya yang mereka lakukan, sehingga kami memberikan fasilitas pengumpulannya.

Kami membentuk bank-bank sampah unit yang terdekat dengan masyarakat di RT, RW, maksimal desa, supaya masyarakat bisa membawa sampahnya yang sudah dipilah ke bank sampah unit terdekat. Bahkan kami juga membuatnya di sekolah, di kantor, untuk memberikan akses kepada masyarakat untuk membawa sampah yang telah dipilahnya. Dan hasil dari sampah yang terpilah tersebut bisa menjadi tabungan untuk mereka. Biasanya kami transferkan langsung ke rekening mereka sehingga nanti mereka bisa manfaatkan, apakah mau dijadikan token listrik, apakah untuk biaya kenaikan anak sekolah, itu semuanya terserah mereka. Jadi, mereka bisa menabung untuk sebuah tujuan.

Dalam satu waktu kami bisa menyelesaikan banyak masalah sebenarnya. Masalah lingkungan, ada pemberdayaan masyarakat, ada circular economy di sana. Dan dalam perjalanannya, kami menemukan isu-isu sosial yang bisa secara bersamaan diselesaikan. Misalnya mengenai pendidikan, kami bisa membuat program les bahasa Inggris bayar pakai sampah. Kemudian ada isu stunting, kami bisa buat program tukar telur atau susu dengan sampah. Tukar sembako dengan sampah. Itu salah satu upaya kami untuk menyelesaikan isu-isu sosial di masyarakat.

Mengapa edukasi pengelolaan sampah dianggap begitu penting oleh Bank Sampah Bersinar?

Pemilahan sampah itu sangat penting. Itu ujung tombaknya. Sampah yang terpilah itu bisa diolah. Kalau sampah yang tercampur, bisa juga sih diolah, tapi tentu akan sangat berat. Sampah yang telah tercampur menurunkan nilai sampah dan butuh biaya tinggi untuk mengolahnya. Dengan memilah itu sebenarnya kita memasukkan konsumsi kita ke dalam circular economy.

Jadi circular economy ini bukan bicara tentang nilai ekonomi saja, menghasilkan uang banyak, tetapi bagaimana apa yang sudah tidak kita makan, itu tidak terbuang. Makanya harus masuk ke proses daur ulang. Setelah didaur ulang akan masuk lagi ke pasar, jadi sebuah produk dan produknya dikonsumsi lagi oleh kita. Itu ekonomi sirkular, tidak menghasilkan sampah sama sekali.

Kenapa bank sampah fokus kepada pemilahan? Supaya sampah organik yang menghasilkan gas metan yang berkontribusi menghasilkan gas efek rumah kaca, itu bisa diubah dari yang biasanya merugikan lingkungan, justru bagaimana supaya sampah organik ini bisa memberikan manfaat buat lingkungan. Dari tanah kembali ke tanah. Dari apa yang kita konsumsi kembali lagi ke tanah untuk menutrisi. Si gas metan itu sebetulnya bisa dimanfaatkan kok. Dengan adanya biogas itu bisa dimanfaatkan. Itu bisa juga kita kembalikan ke lingkungan, ya sebagai pupuk kompos, untuk menutrisi. Karena tanah-tanah kita udah pada rusak dan kita butuh pupuk organik. Jadi kita berkontribusi pada halaman rumah kita sendiri.

Di sisi lain, ada sampah-sampah kemasan yang bukan organik. Begitu organik selesai, saya yakin sampah non-organik juga selesai. Karena yang menimbulkan bau, yang menimbulkan berat nih dibawa ke TPA itu sebenarnya sampah organik lho. Untuk sampah non-organik, ada industri daur ulang yang bisa mengelolanya.

Kegiatan pemilahan sampah di gudang Bank Sampah Bersinar di Bandung. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Apalagi yang penting selain pengelolaan sampah?

Tentu pengurangan itu yang terbaik ya. Mengurangi sampah itu yang terbaik. Tapi Indonesia itu salah satu negara yang memiliki industri daur ulang yang terbesar di dunia. Bahkan dari negara-negara lain pun kirim sampah ke kita. Karena kita butuh bahan baku. Dan kita harus pertahankan itu karena puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu orang bekerja di industri itu.

Nah, bagaimana supaya kita enggak perlu lagi kirim-kirim sampah dari luar negeri. Dengan mengedukasi masyarakat kita, mereka pilah-pilah sampahnya. Kalau sampah organiknya beres, bahkan bisa kembali baik dan menutrisi tanah kita, ya tidak menimbulkan masalah dari sampah organik yang menimbulkan polusi, yang berkontribusi pada perubahan iklim. Dan sampah non-organiknya bisa dikelola melalui industri daur ulang, sehingga sisa hanya residu, mungkin hanya sedikit ya, hanya 20%. Ada teknologi waste to energy, mungkin pemerintah yang akan melakukan. Atau bahkan di TPA dengan konsep yang baik ya, sanitary landfill is okay. Kita bisa lakukan itu. Saya yakin itu akan berkontribusi besar pada pengelolaan lingkungan kita yang lebih baik.