Pada akhirnya, Atlantis tidak lagi disukai para dewa. Dalam satu hari semalam, Atlantis hancur akibat gempa bumi dan banjir. Dahulunya merupakan mercusuar budaya dan peradaban, pulau dongeng ini lenyap ditelan ombak, bersama seluruh penghuninya.
Setelah mendengar kisah Atlantis, keangkuhannya, dan kehancurannya, seseorang dapat dimaafkan jika mencoba menempatkan pulau ini pada peta. Lagi pula, kita bahkan memiliki perkiraan lokasinya, di sebelah barat Pilar Hercules, atau Selat Gibraltar, sebagaimana kita menyebutnya sekarang. Hal ini menempatkan pulau itu di Samudra Atlantik, atau sebagaimana orang Yunani menyebutnya, “Atlantìs thálassa”.
Namun, terlepas dari upaya generasi penjelajah dan ilmuwan (semu) untuk menemukan tempat mistis ini, Atlantis, yang pertama dan terpenting, hanyalah sebuah mitos. Sebuah kisah moralitas yang diciptakan oleh salah satu pemikir paling cerdas di Yunani kuno, yaitu seorang filsuf Athena bernama Plato yang hidup dari tahun 420-an hingga 340-an SM.
Plato meninggalkan kita satu-satunya catatan tertulis tentang Atlantis dalam dua dialognya (ditulis sekitar 360 SM), Timaeus dan Critias. Ketika membaca kisah ini dalam konteks yang lebih luas dari karya dan sejarah Plato, Atlantis menjadi sebuah alegori yang rumit, yang jelas-jelas dimaksudkan untuk memuji demokrasi Athena, tetapi juga berfungsi sebagai peringatan.
Selama masa hidup Plato, Athena mencoba (dan gagal) menjadi sebuah kekaisaran, terlibat dalam perang berdarah dengan Sparta yang dikenal sebagai Perang Peloponnesia. Jadi, kisah Atlantis sebenarnya tentang Athena, sebuah kisah moralitas yang dimaksudkan untuk mendidik generasi muda Athena tentang bahaya kekuasaan dan keangkuhan.
Sama seperti bangsa Atlantis yang menjadi serakah, picik, dan bangkrut secara moral, Athena berisiko kehilangan prinsip demokrasi yang dijunjungnya dan berubah menjadi negara otoriter. Nasib tragis Socrates, mentor dan kolega Plato, diadili dan dijatuhi hukuman mati karena “merusak pikiran pemuda Athena” ternyata masih segar dalam ingatan sang filsuf.
Aristoteles, murid Plato, menganggap legenda Atlantis hanyalah khayalan belaka. Lagi pula, detail yang terkandung dalam kedua dialog tersebut terlalu khayalan untuk menjadi kenyataan.
Namun kejeniusan cerita Atlantis memang luar biasa, sebagian karena gaya penulisan Plato. Untuk memberikan kredibilitas pada kisahnya tentang Atlantis, Plato menambahkan tokoh protagonis lainnya–Solon–salah satu politisi dan anggota parlemen Athena yang paling terkenal.
Dalam dialognya, Plato menyebutkan bahwa Solon mendengar cerita Atlantis dari seorang pendeta Mesir kuno di Sais. Janganlah kita lupa bahwa Mesir menyandang gelar sebagai peradaban kuno paling maju di dunia, dan para pendetanya dikagumi sebagai penjaga pengetahuan suci ini.
Taktik itu jelas berhasil. Pada abad kedua Masehi, sejarawan Romawi Plutarch menyebutkan kisah tersebut dalam bukunya La vita di Solone (Life of Solon). Seratus tahun sebelumnya, ahli geografi Strabo mempertimbangkan kemungkinan bahwa bagian dari cerita tersebut mungkin asli, dan bahwa bencana alam mengilhami jatuhnya Atlantis.
Selain beberapa catatan tersebut, sumber-sumber kuno jarang menyebutkan Atlantis. Namun, pada abad-abad berikutnya, mitos Atlantis memicu imajinasi banyak sarjana dan penjelajah.