Nationalgeographic.co.id - Kesatria Hospitaller dikenal sebagai Ordo militer katolik abad pertengahan. Organisasi ini muncul dalam sejarah Perang Salib.
Didirikan pada abad ke-11 di Yerusalem, Ordo ini awalnya muncul sebagai sebuah kelompok yang didedikasikan untuk memberikan perawatan bagi para peziarah yang melakukan perjalanan ke Tanah Suci.
Misi mereka segera berkembang menjadi tujuan ganda yaitu pekerjaan rumah sakit dan pertahanan militer.
Dari permulaan mereka di Tanah Suci, melalui perubahan lanskap Siprus, Rhodes, dan Malta, Kesatria Hospitaller telah menavigasi arus sejarah yang penuh gejolak.
Asal usul Kesatria Hospitaller dimulai pada abad ke-11, di kota Yerusalem, masa ketika Perang Salib Pertama merebut kembali Tanah Suci untuk kaum Kristen.
Dengan latar belakang ini, sekelompok biksu Benediktin dari Italia mendirikan sebuah rumah sakit sekitar tahun 1023 untuk memberikan perawatan bagi para peziarah miskin, sakit atau terluka yang melakukan perjalanan ke kota suci tersebut.
Rumah sakit ini didedikasikan untuk St. Yohanes Pembaptis dan didanai oleh dermawan kaya dari seluruh Eropa, termasuk pedagang hingga bangsawan.
Gerard Thom, umumnya dikenal sebagai Beato Gerard, dianggap sebagai pendiri dan pemimpin pertama lembaga amal ini.
Seiring dengan meningkatnya reputasi rumah sakit, sumber daya dan ambisinya pun meningkat. Pada tahun 1113, Paus Paskah II mengeluarkan banteng kepausan yang mengakui rumah sakit sebagai entitas independen di bawah gereja, bebas dari kendali gereja lokal atau otoritas sekuler mana pun.
Pengakuan ini menandai pembentukan formal Hospitaller sebagai sebuah Ordo. Penerus Beato Gerard, Raymond du Puy, memperluas misi Ordo tersebut hingga mencakup pertahanan militer, yang secara efektif mengubahnya menjadi Ordo militer-religius.
Peran bela diri baru ini merupakan respons langsung terhadap kondisi yang tidak stabil dan seringkali bermusuhan di Tanah Suci.
Ordo mulai merekrut saudara kesatria, bangsawan yang mengambil sumpah biara dan bertugas sebagai angkatan bersenjata Ordo.
Mereka membangun benteng, mempertahankan lokasi strategis, dan bertempur. Maka lahirlah Kesatria Hospitaller, sebuah organisasi yang berkomitmen untuk merawat orang sakit dan mempertahankan wilayah Kristen di Tanah Suci.
Peran Kesatria Hospitaller dalam Sejarah Perang Salib
Setelah pembentukan pasukan militer mereka, Hospitaller dengan cepat tumbuh menjadi salah satu kekuatan tempur Kristen yang paling tangguh di Tanah Suci.
Mereka berpartisipasi dalam kampanye dan pertempuran besar, antara lain Pengepungan Ascalon (1153), Pertempuran Hattin (1187), dan Pengepungan Acre (1191).
Keluarga Hospitaller dikenal karena keberanian dan disiplin mereka, sering kali menjadi barisan depan atau barisan belakang tentara Tentara Salib.
Kesatria Hospitaller tidak bertindak sendirian dalam upaya bela diri mereka. Mereka sering berperang bersama Kesatria Templar, ordo militer terkemuka lainnya.
Meskipun mereka memiliki tujuan dan musuh yang sama, kedua ordo tersebut juga merupakan saingan, bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan pengaruh.
Kesatria Teutonik, awalnya merupakan persaudaraan rumah sakit seperti Hospitaller, juga muncul sebagai ordo militer selama Perang Salib Ketiga.
Meskipun berbasis terutama di wilayah Baltik, mereka kadang-kadang berkoordinasi dengan Hospitaller di Tanah Suci.
Krisis di Tanah Suci
Pada akhir abad ke-13, situasi politik dan militer di Tanah Suci semakin berbahaya bagi kekuatan Kristen. Namun, kampanye-kampanye ini tidak banyak mencapai hasil dalam hal merebut kembali wilayah-wilayah Kristen di Tanah Suci.
Pukulan sesungguhnya datang dengan jatuhnya Acre pada tahun 1291. Acre, benteng besar terakhir negara-negara Tentara Salib, dikepung oleh Mamluk, sebuah kasta militer
Muslim yang kuat yang telah menguasai Mesir dan Suriah. Meskipun pertahanannya putus asa, di mana Hospitaller memainkan peran penting, kota itu jatuh. Hal ini menandai berakhirnya kehadiran umat Kristen yang signifikan di Tanah Suci.
Setelah hilangnya Acre, para Hospitaller yang masih hidup, bersama dengan pengungsi Kristen lainnya, melarikan diri ke pulau Siprus.
Pulau ini kemudian diperintah oleh Dinasti Lusignan, yang menyambut baik perintah militer-religius
Di Siprus, Hospitaller berkumpul kembali dan melakukan restrukturisasi. Mereka mempertahankan komitmen mereka untuk memberikan perawatan bagi orang sakit dan miskin, sembari melanjutkan aktivitas militer mereka, meski kini sebagian besar terbatas pada operasi angkatan laut.
Ordo juga mulai mencari rumah baru, tempat mereka dapat mendirikan basis kedaulatan untuk operasi mereka. Pencarian ini akhirnya membawa mereka ke pulau Rhodes. Waktu mereka di Rhodes menandai titik tertinggi dalam kekuasaan militer dan kedaulatan Kesatria Hospitaller.
Setelah kepergian mereka dari Rhodes, Kesatria Hospitaller menghabiskan tujuh tahun mencari rumah baru.
Pencarian ini berakhir pada tahun 1530 ketika Kaisar Romawi Suci Charles V, juga Raja Sisilia, menghadiahkan mereka pulau Malta dan Gozo, serta pelabuhan Tripoli di Afrika Utara. Hal ini menandai dimulainya era baru Ordo, yang sekarang dikenal sebagai Kesatria Malta.
Kehadiran para Kesatria di Malta segera ditantang oleh musuh lama mereka, Ottoman, yang berpuncak pada Pengepungan Besar Malta pada tahun 1565.
Ottoman berusaha mengusir para Kesatria dan menggunakan Malta sebagai titik peluncuran untuk ekspansi lebih lanjut ke Eropa.
Meskipun kalah jumlah, para Kesatria memberikan pertahanan yang kuat hingga bertahan selama lebih dari tiga bulan sampai bala bantuan tiba dari Sisilia.
Kemenangan tersebut merupakan peristiwa penting dalam sejarah Eropa, menandai titik balik dalam konflik yang sedang berlangsung dengan Kesultanan Utsmaniyah.
Kesatria Hospitallers sebagai Kekuatan Angkatan Laut
Di Malta, para Kesatria melanjutkan peran mereka sebagai kekuatan angkatan laut. Mereka mempunyai armada kapal galai, yang mereka gunakan untuk operasi pertahanan dan ofensif melawan Ottoman dan bajak laut Barbary.
Tindakan mereka pada periode ini dipandang sebagai tindakan pembelaan umat Kristen dan pembajakan yang direstui negara.
Para Kesatria juga mengubah Malta menjadi pulau berbenteng. Ibu kotanya, Valletta, dinamai menurut Grand Master de Valette, dirancang sebagai kota benteng, dan banyak benteng serta menara pengawas dibangun di seluruh pulau.
Pemerintahan Kesatria di Malta berlanjut hingga tahun 1798, ketika Napoleon Bonaparte merebut pulau-pulau tersebut selama kampanyenya di Mesir.
Para Kesatria digulingkan tanpa perlawanan, menandai berakhirnya kekuasaan mereka sebagai kekuatan teritorial.
Tatanan Kesatria Hospitaller di Era Modern
Setelah pengusiran mereka dari Malta, Kesatria Hospitaller juga dikenal sebagai Kesatria Malta, memasuki periode perubahan dan adaptasi yang signifikan.
Meskipun tidak lagi memegang kedaulatan teritorial, mereka berhasil mempertahankan dan mengembangkan identitas mereka, dan terus meengaruhi dunia dengan cara yang tidak terduga.
Setelah tahun 1798, Ordo tersebut berantakan, dan anggotanya tersebar di seluruh Eropa. Namun, mereka berhasil mengatur ulang diri mereka sendiri, memilih Grand Master baru dan mendirikan markas sementara di Roma pada tahun 1834, yang masih bertahan hingga hari ini.
Meskipun mereka tidak lagi memiliki kekuatan militer, para Kesatria kembali ke akar asal mereka di rumah sakit. Mereka memfokuskan upaya mereka pada penyediaan perawatan medis, bantuan kemanusiaan, dan bantuan darurat, terutama pada saat perang atau bencana.
Saat ini, Ordo mengoperasikan rumah sakit, klinik, dan layanan ambulans di lebih dari 120 negara. Mereka juga berperan dalam diplomasi internasional, menjaga hubungan diplomatik dengan banyak negara dan menyandang status pengamat di PBB.