Selidik Jerit Bayi Yaki Sulawesi dalam Konflik di Cagar Alam Tangkoko

By Utomo Priyambodo, Selasa, 26 Desember 2023 | 08:47 WIB
Bayi yaki atau monyet hitam sulawesi bermain dengan teman-teman sepantarannya. (Jerome Michelette/MNP)

Para ilmuwan menyimpulkan bahwa yaki jantan mungkin memiliki beberapa petunjuk untuk menilai bayi mana yang merupakan anak meraka. Meskipun demikian, para pejantan umumnya jarang melakukan intervensi dan bahkan membantu bayi yang tidak memiliki hubungan keluarga.

Data yang dikumpulkan menunjukkan, misalnya, bahwa bayi yang berteriak minta tolong sebagian besar terlibat dalam konflik dengan pejantan atau betina dewasa dari kelompok sosialnya (masing-masing 42 dan 46%). Oleh karena itu, pejantan dapat menilai risiko intervensi mereka untuk menghindari potensi konflik dengan pejantan saingannya.

“Meskipun penelitian sebelumnya mengenai spesies primata ini menemukan bahwa ayah yaki tidak secara khusus menjalin hubungan sosial dengan keturunannya, penelitian ini menunjukkan bahwa ayah yaki berinvestasi dalam mendukung keturunannya, meskipun dengan cara yang sangat terbatas,” kata Profesor Widdig.

Berdasarkan pengamatan ini, para peneliti percaya bahwa segala bentuk pengasuhan ayah tidak kentara dan terbatas pada situasi tertentu, tetapi mungkin telah berkembang karena tingginya angka kematian bayi pada yaki.

Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengenai terbatasnya dukungan pihak ayah: yang paling sederhana mungkin adalah bahwa keturunan yaki tidak mendapat manfaat dari asosiasi spasial dan ikatan sosial dengan ayah mereka, sehingga baik ayah maupun keturunannya tidak berinvestasi dalam hubungan seperti itu setiap hari. Penjelasan lain mungkin adalah kurangnya waktu.

Meskipun berpotensi memberikan manfaat, ayah yaki mungkin tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama anak-anaknya. Waktu yang tersedia bagi pejantan untuk berinteraksi dengan keturunannya tampaknya sangat terbatas.

Menurut para peneliti hal ini disebabkan oleh fakta bahwa yaki hanya dapat mempertahankan status alfa mereka rata-rata selama dua belas bulan. Oleh karena itu, pejantan mungkin menghabiskan seluruh waktunya untuk mengawinkan sebanyak mungkin betina subur sebelum bermigrasi ke kelompok lain.

“Masih belum jelas apakah dukungan terhadap yaki muda oleh pejantan yang tidak berkerabat sebenarnya merupakan strategi aktif pejantan atau sebuah kesalahan penilaian hubungan kekerabatan dari pejantan,” kata ahli ekologi perilaku tersebut.

Macaca Nigra Project (MNP) merupakan kerja sama internasional yang didirikan pada tahun 2006. Saat ini, MNP dipimpin oleh para ilmuwan dari Indonesia (Institut Pertanian Bogor), Prancis (National Centre for Scientific Research dan National Museum of Natural History, Paris), Inggris (University of Portsmouth) dan Jerman (Universität Leipzig dan Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig).

MNP mengoperasikan stasiun lapangan di Sulawesi, Indonesia, sebuah pulau yang dikenal sebagai hotspot keanekaragaman hayati. Penelitian lapangan dilakukan di Cagar Alam Tangkoko yang terletak di ujung paling utara Sulawesi dan mencakup area seluas lebih dari 8.700 hektare.

Di sini, salah satu populasi terbesar yaki yang terancam punah sedang dipelajari di lingkungan alaminya. MNP berfokus pada penelitian, pendidikan lingkungan, dan konservasi. Selain mempelajari perilaku, fisiologi dan ekologi spesies ini, proyek ini bekerja sama dengan otoritas lokal dan organisasi non-pemerintah untuk mempromosikan konservasi primata ini.

Data jangka panjang dari sekitar 500 hewan di lingkungan alaminya, sejak lahir hingga mati, memberikan wawasan penting mengenai evolusi sosial dan ekologi perilaku primata, serta keragaman genetik dan depresi perkawinan sedarahnya, ekologi dan perubahan iklim, sehingga menyoroti pendekatan penelitian interdisipliner dari proyek ini.

MNP juga menarik perhatian karena program pendidikan lingkungannya. Sejak tahun 2011, mereka telah menyelenggarakan kegiatan untuk memberikan informasi dan sumber daya kepada anak-anak sekolah, guru dan orang dewasa dari desa-desa sekitar Cagar Alam Tangkoko tentang hutan hujan, iklim, siklus air, fauna, flora dan yaki, untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang perlindungan alam asli dan keanekaragaman hayatinya.

Para peneliti telah menjangkau lebih dari 5.000 orang sejak proyek dimulai. Program ini merupakan bagian dari kurikulum sekolah resmi di dua desa dekat Cagar Alam Tangkoko. Tim Leipzig juga memimpin analisis kuantitatif pertama mengenai keberhasilan program pendidikan lingkungan hidup tersebut yang hasilnya telah terbit di International Journal of Primatology edisi khusus yaki.