Selidik Jerit Bayi Yaki Sulawesi dalam Konflik di Cagar Alam Tangkoko

By Utomo Priyambodo, Selasa, 26 Desember 2023 | 08:47 WIB
Bayi yaki atau monyet hitam sulawesi bermain dengan teman-teman sepantarannya. (Jerome Michelette/MNP)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian baru di Pulau Celebes mengungkapkan sifat unik dari yaki atau monyet hitam sulawesi (Macaca nigra). Para peneliti menemukan bahwa ketika bayi yaki terlibat dalam konflik agonistik, ayah yaki cenderung merespons jeritan keturunannya sendiri.

Penemuan ini adalah kesimpulan dari penelitian terbaru yang dipimpin oleh para ahli ekologi perilaku. Para peneliti mempelajari perilaku yaki tersebut di Cagar Alam Tangkoko di Sulawesi, Indonesia, selama periode 24 bulan (tahun 2008 hingga 2010).

Penelitian terhadap primata yang punya ciri khas rambut berbentuk jambul di atas kepalanya ini merupakan bagian dari Macaca Nigra Project (MNP). Riset ini dipimpin oleh ahli ekologi perilaku Profesor Anja Widdig dari Universität Leipzig dan Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Leipzig.

Makalah hasil studi mereka ini baru saja terbit di International Journal of Primatology edisi khusus yaki pada Juli 2023. Penerbitan hasil penelitian ini menandai peringatan 17 tahun Macaca Nigra Project.

Selama tahun awal kehidupannnya, bayi primata menghadapi banyak bahaya. Mereka bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup, terutama pada tahun pertama kehidupannya.

Induk primata memikul beban utama pengasuhan pada primata. Karena kelangsungan hidup anak-anak mereka juga penting bagi pejantan untuk mewariskan gen mereka, sang ayah dapat, misalnya, juga melindungi anak-anak mereka selama konflik.

"Banyak spesies primata hidup dalam kelompok yang terdiri dari beberapa jantan dan betina. Perkawinan bebas menimbulkan pertanyaan apakah pejantan dapat mengenali keturunan genetik mereka. Oleh karena itu, tujuan dari studi perilaku ini adalah untuk menyelidiki bagaimana respons pejantan ketika bayi berteriak minta tolong," kata Profesor Widig.

Timnya mengamati konflik yang melibatkan bayi yaki. Anak-anak yaki sering berteriak untuk mendapatkan dukungan.

Dalam lebih dari 3.600 jam observasi di tiga kelompok studi, para peneliti mencatat lebih dari 2.600 jeritan bayi minta tolong. Mereka kemudian menganalisis respons yaki jantan terhadap jeritan bayi-bayi tersebut.

Para peneliti menemukan bahwa para pejantan lebih mungkin merespons jeritan bayi jika mereka adalah ayah bayi, teman bayi, dan/atau teman induk si yaki. Selain itu, para pejantan lebih cenderung bereaksi terhadap anak-anaknya yang menjerit-jerit jika mereka sendiri memiliki tingkat dominasi yang tinggi, yaitu kemungkinan besar menjadi ayah dari sebagian besar bayi tersebut.

Para pejantan lebih cenderung merespons jika bayi yang berteriak dan induknya memiliki tingkat dominasi yang rendah, yaitu sangat bergantung pada bantuan. Sebaliknya, respon para pejantan terhadap jeritan bayi tidak bergantung pada kehadiran ibu di lokasi konflik.

Seekor induk yaki sedang mengasuh anaknya di Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi. (Jerome Michelette/MNP)

Para ilmuwan menyimpulkan bahwa yaki jantan mungkin memiliki beberapa petunjuk untuk menilai bayi mana yang merupakan anak meraka. Meskipun demikian, para pejantan umumnya jarang melakukan intervensi dan bahkan membantu bayi yang tidak memiliki hubungan keluarga.

Data yang dikumpulkan menunjukkan, misalnya, bahwa bayi yang berteriak minta tolong sebagian besar terlibat dalam konflik dengan pejantan atau betina dewasa dari kelompok sosialnya (masing-masing 42 dan 46%). Oleh karena itu, pejantan dapat menilai risiko intervensi mereka untuk menghindari potensi konflik dengan pejantan saingannya.

“Meskipun penelitian sebelumnya mengenai spesies primata ini menemukan bahwa ayah yaki tidak secara khusus menjalin hubungan sosial dengan keturunannya, penelitian ini menunjukkan bahwa ayah yaki berinvestasi dalam mendukung keturunannya, meskipun dengan cara yang sangat terbatas,” kata Profesor Widdig.

Berdasarkan pengamatan ini, para peneliti percaya bahwa segala bentuk pengasuhan ayah tidak kentara dan terbatas pada situasi tertentu, tetapi mungkin telah berkembang karena tingginya angka kematian bayi pada yaki.

Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengenai terbatasnya dukungan pihak ayah: yang paling sederhana mungkin adalah bahwa keturunan yaki tidak mendapat manfaat dari asosiasi spasial dan ikatan sosial dengan ayah mereka, sehingga baik ayah maupun keturunannya tidak berinvestasi dalam hubungan seperti itu setiap hari. Penjelasan lain mungkin adalah kurangnya waktu.

Meskipun berpotensi memberikan manfaat, ayah yaki mungkin tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama anak-anaknya. Waktu yang tersedia bagi pejantan untuk berinteraksi dengan keturunannya tampaknya sangat terbatas.

Menurut para peneliti hal ini disebabkan oleh fakta bahwa yaki hanya dapat mempertahankan status alfa mereka rata-rata selama dua belas bulan. Oleh karena itu, pejantan mungkin menghabiskan seluruh waktunya untuk mengawinkan sebanyak mungkin betina subur sebelum bermigrasi ke kelompok lain.

“Masih belum jelas apakah dukungan terhadap yaki muda oleh pejantan yang tidak berkerabat sebenarnya merupakan strategi aktif pejantan atau sebuah kesalahan penilaian hubungan kekerabatan dari pejantan,” kata ahli ekologi perilaku tersebut.

Macaca Nigra Project (MNP) merupakan kerja sama internasional yang didirikan pada tahun 2006. Saat ini, MNP dipimpin oleh para ilmuwan dari Indonesia (Institut Pertanian Bogor), Prancis (National Centre for Scientific Research dan National Museum of Natural History, Paris), Inggris (University of Portsmouth) dan Jerman (Universität Leipzig dan Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Leipzig).

MNP mengoperasikan stasiun lapangan di Sulawesi, Indonesia, sebuah pulau yang dikenal sebagai hotspot keanekaragaman hayati. Penelitian lapangan dilakukan di Cagar Alam Tangkoko yang terletak di ujung paling utara Sulawesi dan mencakup area seluas lebih dari 8.700 hektare.

Di sini, salah satu populasi terbesar yaki yang terancam punah sedang dipelajari di lingkungan alaminya. MNP berfokus pada penelitian, pendidikan lingkungan, dan konservasi. Selain mempelajari perilaku, fisiologi dan ekologi spesies ini, proyek ini bekerja sama dengan otoritas lokal dan organisasi non-pemerintah untuk mempromosikan konservasi primata ini.

Data jangka panjang dari sekitar 500 hewan di lingkungan alaminya, sejak lahir hingga mati, memberikan wawasan penting mengenai evolusi sosial dan ekologi perilaku primata, serta keragaman genetik dan depresi perkawinan sedarahnya, ekologi dan perubahan iklim, sehingga menyoroti pendekatan penelitian interdisipliner dari proyek ini.

MNP juga menarik perhatian karena program pendidikan lingkungannya. Sejak tahun 2011, mereka telah menyelenggarakan kegiatan untuk memberikan informasi dan sumber daya kepada anak-anak sekolah, guru dan orang dewasa dari desa-desa sekitar Cagar Alam Tangkoko tentang hutan hujan, iklim, siklus air, fauna, flora dan yaki, untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang perlindungan alam asli dan keanekaragaman hayatinya.

Para peneliti telah menjangkau lebih dari 5.000 orang sejak proyek dimulai. Program ini merupakan bagian dari kurikulum sekolah resmi di dua desa dekat Cagar Alam Tangkoko. Tim Leipzig juga memimpin analisis kuantitatif pertama mengenai keberhasilan program pendidikan lingkungan hidup tersebut yang hasilnya telah terbit di International Journal of Primatology edisi khusus yaki.