Ancaman Kepunahan Bunga Terbesar di Dunia yang Tumbuh di Indonesia

By Utomo Priyambodo, Selasa, 26 Desember 2023 | 12:00 WIB
Rafflesia banaoana, salah satu spesies dari genus Rafflesia, kelompok tumbuhan yang memiliki bunga terbesar di dunia. Jenis bunga lainnya, Rafflesia patma, banyak tumbuh di Indonesia. (Chris Thorogood)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru menemukan bahwa sebagian besar spesies Rafflesia, yang menghasilkan bunga terbesar di dunia, sedang menghadapi ancaman kepunahan. Kurangnya perlindungan di tingkat lokal, nasional, dan internasional menyebabkan populasi yang tersisa berada di bawah ancaman kritis.

Sekelompok ilmuwan internasional, termasuk para ahli botani di University of Oxford's Botanic Garden, telah mengeluarkan seruan mendesak untuk melakukan tindakan terkoordinasi untuk menyelamatkan genus ikonik Rafflesia, yang berisi bunga terbesar di dunia. Hal ini menyusul penelitian baru yang menemukan bahwa sebagian besar dari 42 spesies Rafflesia terancam punah.

Meski 42 spesies Rafflesia terancam, hanya satu dari spesies tersebut yang telah terdaftar dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah dari IUCN. Selain itu, lebih dari dua pertiga (67%) habitat tumbuhan itu tidak terlindungi dan berisiko mengalami kerusakan.

Rafflesia, salah satu teka-teki botani terbesar, telah membangkitkan rasa ingin tahu di kalangan ilmuwan selama berabad-abad. Tanaman ini merupakan parasit yang menginfeksi tanaman merambat tropis di hutan di Asia Tenggara (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand).

Untuk sebagian besar siklus hidupnya, Rafflesia tersembunyi dari pandangan. Ada sebagai sistem filamen seperti benang yang menyerang inangnya.

Dalam jangka waktu yang tidak dapat diprediksi, parasit ini menghasilkan tunas mirip kubis yang menembus kulit pohon anggur dan akhirnya membentuk bunga raksasa dengan lima lobus, dengan lebar hingga satu meter. Hal ini menghasilkan bau busuk dari daging busuk untuk menarik lalat penyerbuk, sehingga tanaman ini mendapat alternatif sebagai bunga bangkai.

Dengan siklus hidup yang sulit dipahami, Rafflesia masih kurang dipahami, dan spesies baru dari kelompok genus ini masih terus dicatat. Untuk lebih memahami kerentanan tumbuhan unik ini, sekelompok ilmuwan membentuk jaringan global terkoordinasi pertama untuk menilai ancaman yang dihadapi Rafflesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh 42 spesies Rafflesia berada dalam ancaman: berdasarkan kriteria yang digunakan oleh IUCN, para ilmuwan mengklasifikasikan 25 spesies sebagai ‘Sangat Terancam Punah’, 15 spesies ‘Terancam Punah’, dan dua spesies ‘Rentan’. Lebih jauh lagi, lebih dari dua pertiga (67%) populasi tumbuhan ini tidak dilindungi oleh strategi konservasi regional atau nasional.

Spesies Rafflesia sering kali mempunyai persebaran yang sangat terbatas, sehingga membuatnya sangat rentan terhadap perusakan habitat. Studi ini menemukan bahwa banyak dari populasi yang tersisa hanya terdiri dari beberapa individu yang berada di kawasan yang tidak dilindungi dan mempunyai risiko kritis untuk dikonversi menjadi pertanian.

Karena upaya untuk menyebarkan Rafflesia di kebun raya sejauh ini masih terbatas, hal ini menjadikan konservasi habitat sebagai prioritas mendesak.

Untuk mengatasi ancaman tersebut, para peneliti merekomendasikan agar seluruh spesies Rafflesia segera dimasukkan ke dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN. Saat ini hanya satu yang terdaftar: Rafflesia magnifica.

Tim peneliti ini mengusulkan empat poin rencana aksi untuk pemerintah, pusat penelitian, dan organisasi konservasi:

Pertama, perlindungan yang lebih besar terhadap habitat Rafflesia, menyasar populasi yang paling berisiko. Perlindungan habitat diidentifikasi sebagai satu-satunya alat terbaik untuk konservasi Rafflesia.

Asia Tenggara mempunyai hutan yang paling cepat hilang di dunia. Selain itu, banyak populasi Rafflesia yang diketahui berada dekat dengan pemukiman manusia yang terus berkembang.

Kedua, pemahaman yang lebih baik tentang keanekaragaman Rafflesia yang ada, untuk membantu pengambilan keputusan. Spesies Rafflesia diperkirakan masih belum terdokumentasikan, sementara spesies lainnya telah punah bahkan sebelum diketahui oleh sains.

Kita tidak dapat melindungi apa yang tidak kita ketahui keberadaannya, sehingga diperlukan ekspedisi pengambilan sampel dan analisis genetik untuk memahami berapa banyak spesies Rafflesia yang sebenarnya ada.

Ketiga, mengembangkan metode agar berhasil menyebarkan Rafflesia di luar habitat aslinya. Hal ini dapat mencakup pencangkokan tanaman merambat yang terinfeksi Rafflesia ke tanaman merambat yang tidak terinfeksi untuk spesies yang kemungkinan besar akan mengalami kerusakan habitat.

Keempat, memperkenalkan inisiatif ekowisata baru untuk melibatkan masyarakat lokal dalam konservasi Rafflesia. Menyediakan pendanaan dan pelatihan bagi pemandu spesialis lokal akan menjadi cara yang efektif untuk membantu melindungi populasi Rafflesia lokal dan meningkatkan kesadaran akan perlunya konservasi.

Terlepas dari tantangan yang ada, penelitian ini juga menyoroti kisah sukses berharga yang dapat memberikan wawasan penting bagi konservasi Rafflesia di tempat lain.

Contohnya, Kebun Raya Bogor di Jawa Barat, Indonesia, telah menjadi pusat unggulan perbanyakan Rafflesia, setelah serangkaian momen pembungaan yang sukses, termasuk 16 untuk spesies Rafflesia patma. Kegiatan berbagi pengetahuan akan membantu menyebarkan praktik terbaik ke daerah-daerah yang memerlukan hal ini dengan segera.

Di Sumatra Barat, kelompok masyarakat desa memperoleh manfaat dari ekowisata Rafflesia dengan membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang terhubung ke media sosial. Banyak dari mereka yang mengumumkan peristiwa mekarnya Rafflesia di platform media sosial untuk membangun kesadaran masyarakat, dan untuk menarik wisatawan yang membayar sambil secara hati-hati mengelola risiko, misalnya menginjak tanaman itu. Kegiatan-kegiatan ini dapat dikembangkan sebagai template untuk disebarluaskan ke daerah-daerah di mana keterlibatan masyarakat dalam konservasi Rafflesia masih langka.

Chris Thorogood, Wakil Direktur University of Oxford's Botanic Garden dan penulis studi tersebut, mengatakan bahwa studi baru ini menyoroti bagaimana upaya konservasi global yang diarahkan pada tanaman yang betapapun ikonikny masih tertinggal dibandingkan upaya hewan.

"Kita sangat membutuhkan pendekatan terpadu dan lintas wilayah untuk menyelamatkan beberapa bunga paling menakjubkan di dunia ini, yang sebagian besar kini berada di ambang kepunahan," ucapnya.

Adriane Tobias, ahli kehutanan dari Filipina, mengatakan, "Masyarakat adat adalah salah satu penjaga terbaik hutan kita, dan program konservasi Rafflesia akan lebih berhasil jika melibatkan masyarakat lokal. Rafflesia berpotensi menjadi ikon baru konservasi di kawasan tropis Asia.