Nationalgeographic.co.id—Seiring dengan perkembangan teknologi di era digital, kemudahan akses internet untuk pembelajaran memudahkan pembelajaran di sekolah. Namun tidak jarang, informasi yang dihasilkan di internet maupun alat pembantu seperti robot asisten, bisa memberikan informasi yang tidak terverifikasi.
Padahal, penggunaan internet dan teknologi robot seperti kecerdasan buatan semakin mudah diakses. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah anak-anak usia dini di sekolah yang menggunakan teknologi, dapat memercayai sumber informasi yang mereka gunakan.
Xiaoqian Li, peneliti di fakultas Humanities, Arts, and Social Sciences Singapore University of Technology and Design (SUTD) mencari tahu pemilihan informasi anak-anak dari sumber di sekitarnya.
Dalam sebuah penelitian, Li mencari tahu pengolahan informasi anak-anak di internet. Dia mencari tahu, apakah anak-anak akan percaya dan selektif berdasarkan keakuratan sumber infomrasi yang diterimanya di internet, baik itu dibuat oleh manusia atau robot.
"Kami percaya bahwa selektivitas dalam pembelajaran sosial mencerminkan munculnya pemahaman anak-anak tentang apa yang menjadikan sumber informasi yang baik (dapat diandalkan)," lanjut Li, dilansir dari Eurekalert.
"Pertanyaannya adalah bagaimana anak-anak menggunakan kecerdasan mereka untuk memutuskan kapan harus belajar dan siapa yang harus dipercaya.”
Lebih percaya manusia, walau informasinya salah
Hasil studi Li dan rekan mengungkapkan bahwa anak-anak bersedia menerima informasi dari siapa pun sumbernya, baik manusia maupun robot. Akan tetapi, mereka lebih memilih informasi dari manusia ketimbang robot.
Sebetulnya, mereka tidak menerima informasi dari sumber informasi yang tidak dapat dipercaya, dan pernah melakukan kesalahan. Ketidakpercayaan ini sangat kuat jika pemberi informasinya adalah robot. Jika sumbernya berasal dari manusia, anak-anak cenderung lebih percaya.
Li memperkirakan bahwa anak-anak yang berusia lebih muda mungkin menerima informasi dari manusia yang tidak dapat diandalkan ketimbang robot yang tidak dapat diandalkan. Sedangkan anak-anak yang berusia lebih tua, diketahui tidak memercayai atau menolak informasi dari informan yang tidak dapat diandalkan, baik robot dan manusia.
"Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih muda dan lebih tua mungkin memiliki strategi kepercayaan selektif yang berbeda, terutama cara mereka menggunakan keandalan dan identitas informan ketika memutuskan siapa yang harus dipercaya," terang Li.
Melihat bagaimana anak-anak yang lebih tua tidak mudah percaya atau menolak informasi dari informan yang tidak dapat diandalkan, Li berpendapat, semakin tua usianya semakin selektif. Mereka mempelajari hasil dari masa lalu yang memandu perilaku kepercayaan mereka saat tumbuh.