Kisah Makhluk-Makhluk Mitologi Jepang yang Lahir dari Bencana

By Sysilia Tanhati, Jumat, 5 Januari 2024 | 07:00 WIB
Cerita rakyat Jepang bukan sekadar fiksi, ini adalah bagian dari sejarah kehidupan masyarakatnya. Karena itu, sebagian makhluk mitologi muncul atau tercipta dari bencana. (Kanegen/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Hantu anak-anak bermain di ruang tamu. Dewa turun dari gunung untuk menghukum mereka yang tidak melakukan tugasnya. Inilah beberapa makhluk mitologi Jepang yang menjadi tokoh dalam cerita rakyat Tohoku.

Sebagai wilayah paling utara di pulau utama Jepang, Tohoku cukup terisolasi. Lokasi, iklim yang keras, dan bencana memberikan imajinasi bagi orang-orang yang tinggal di sana. Semua ini menciptakan monster-monster dalam mitologi Jepang.

Cerita rakyat Jepang berasal dari tradisi lisan daerah yang diceritakan oleh masyarakat adat Jepang. Misalnya seperti Emishi dari Tohoku. Cerita rakyat juga dipadukan dengan konsep agama Shinto dan Buddha, serta cerita rakyat yang berasal dari seluruh dunia.

Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita lokal ini berkembang menjadi versi modern dan menjadi bagian dari segala hal. “Mulai dari ritual keagamaan Jepang, seni rupa, gim, dan emoji,” tulis Lance Henderstein di laman National Geographic.

Dari bencana, sejarah Tohoku memenuhi cerita rakyat Jepang

Kisah-kisah dari Tohoku bukanlah fantasi murni. Banyak di antaranya dipengaruhi oleh sejarah sulit bencana alam, kelaparan, dan isolasi geografis di kawasan ini.

Kota Tono di Prefektur Iwate adalah sumber penting dari mitologi ini. Dikelilingi pegunungan, Tono terletak di lembah terpencil. Pengasingan ini memungkinkan banyak cerita rakyat kuno Jepang bertahan hingga zaman modern. Cerita rakyat ini memunculkan makhluk-makluk mitologi Jepang.

Di sanalah Kunio Yanagita mengumpulkan kenangan seorang pria lokal bernama Kizen Sasaki untuk membuat kumpulan cerita rakyat. Kumpulan cerita tersebut diberi judul Tales of Tono dan diterbitkan pada tahun 1910.

Koleksi Yanagita dan Sasaki mencerminkan yokai versi lokal, membawa budaya lokal ke dalam kesadaran nasional dan internasional.

Kami dan yokai tidak seperti konsep Barat tentang dewa, pencipta alam semesta, atau terpisah dari dunia kita. Mereka sepenuhnya berasal dari alam,” kata Toshiaki Ishikura, profesor mitologi dan antropologi seni di Akita Art University.

Hampir semua fenomena misterius dalam cerita rakyat Jepang, termasuk kami (dewa), dapat dianggap yokai.

Yokai hanyalah makhluk mitologi dari cerita rakyat Jepang. Namun mereka bertindak sebagai lensa untuk melihat berbagai aspek kepercayaan, masyarakat, dan sejarah Jepang,” jelas Hiroko Yoda, penulis dan salah satu penulis buku Yokai Attack! The Japanese Monster Survival Guide.

Kappa: roh amfibi dengan latar belakang yang menyeramkan dalam mitologi Jepang

Salah satu yokai paling populer dari mitologi Jepang adalah kappa. Kappa adalah makhluk hijau, amfibi, seperti anak kecil dengan paruh kuning di mulutnya dan cangkang kura-kura di punggungnya.

Awalnya, kappa memberikan kisah mengerikan tentang bahaya tenggelam di sungai jika seseorang tidak berhati-hati. Seiring dengan berjalannya waktu, kappa ditampilkan lebih lucu dan dikomersialkan.

Namun kappa hijau yang lucu itu merupakan evolusi dari makhluk berbulu mirip berang-berang pada zaman Edo (1603–1868).

Kappa di Tohoku mungkin merupakan cerminan dari sejarah tragis kelaparan di wilayah tersebut. Tingginya angka kematian bayi yang disebabkan oleh iklim yang buruk, bencana alam, dan sistem pajak yang dibayarkan dalam bentuk beras. (Brigham Young University)

Citra modern kappa muncul dari budaya cetak Jepang dan desain ukiyo-e (cetakan balok kayu) era Meiji (1868-1912), jelas Ishikura. “Para percetakan dan seniman di perkotaan menata ulang karakter yokai. Gambar-gambar yang diproduksi secara massal itu segera menggantikan versi lokal.”

Penggambaran perilaku kappa beragam dan kontradiktif. Mereka suka bermain-main dan nakal, pendendam dan suka membunuh. Kappa kuat secara fisik dan sangat cerdas, tetapi mudah ditipu.

Mereka menerima hadiah berupa mentimun (makanan favorit mereka). Terkadang kappa menenggelamkan mereka yang menolak memberikan hadiah.

Kekuatan super mereka dilawan oleh kelemahan mereka. Bila genangan air di atas kepala mereka tumpah, kekuatannya pun akan menghilang.

Anehnya, kappa sangat menjaga kesopanan dan akan tunduk pada siapa pun yang membungkuk terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan air tumpah dan memberikan kesempatan bagi manusia untuk melarikan diri.

Lalu apa kaitan kappa dengan bencana?

Ishikura mengatakan aspek gelap dari cerita kappa di Tohoku mungkin merupakan cerminan dari sejarah tragis kelaparan di wilayah tersebut. Tingginya angka kematian bayi yang disebabkan oleh iklim yang buruk, bencana alam, dan sistem pajak yang dibayarkan dalam bentuk beras.

“Di wilayah Tohoku, pembunuhan bayi terkadang digunakan sebagai bentuk pengendalian kelahiran karena terjadinya kelaparan yang berulang. Jenazah anak-anak yang tidak diinginkan sering kali dibuang ke sungai atau danau,” kata Profesor Ishikura. “Banyak orang di Tono percaya bahwa sejarah tragis adalah salah satu asal mula kisah kappa.”

Faktanya, kappa Tono secara spesifik dikatakan berwarna merah, bukan hijau. Hal ini mungkin mengacu pada kata dalam bahasa Jepang untuk bayi, akachan. Akachan berasal dari kata aka yang berarti merah.

Namahage: dewa berwajah seram yang dihormati dalam mitologi Jepang

Cerita rakyat Jepang bukan sekadar fiksi, ini adalah bagian dari sejarah kehidupan masyarakatnya. Salah satunya dapat dilihat pada tradisi namahage di Semenanjung Oga di prefektur Akita. Di sana para pria mengenakan kostum mirip raksasa dan menyalakan api kepercayaan pada kami kuno agar tradisi mereka dapat diteruskan.

Namahage adalah kami waktu, raiho-shin, iblis berwajah merah. Sang iblis dengan berisik turun ke desa-desa untuk menakut-nakuti anak-anak serta menegur orang-orang malas. Ia juga memastikan panen yang baik atau tahun baru.

Namahage adalah kami waktu, raiho-shin, iblis berwajah merah. Sang iblis dengan berisik turun ke desa-desa untuk menakut-nakuti anak-anak serta menegur orang-orang malas. Ia juga memastikan panen yang baik atau tahun baru. (Public Domain)

Nama namahage diperkirakan berasal dari namomi, lepuh panas yang terbentuk karena terlalu lama duduk malas di depan perapian.

Ishikura mengatakan ritual namahage juga memungkinkan pelepasan ketegangan selama pertengahan musim.

Meski berpenampilan seperti oni, namahage tetap mempertahankan statusnya sebagai kami, bukan yokai. “Mereka dihormati sebagai kami oleh anak-anak yang mereka takuti. Dan oleh keluarga yang memberi mereka sake, kue beras, dan makanan lainnya. Namahage tetaplah kami karena mereka masih dihormati.”

Zashiki-warashi: anak roh dalam mitologi Jepang

Yokai Tohoku lainnya yang dipopulerkan oleh Tono Monogatari adalah zashiki-warashi. Ia adalah roh yang menghantui ruang tatami rumah tangga. Roh ini membawa keberuntungan kepada keluarga yang dikunjungi dan membawa keberuntungan itu ketika mereka pergi. “Kepergian zashiki-warashi menyebabkan keluarga mengalami masa-masa sulit,” tambah Henderstein.

Zashiki-warashi. Ia adalah roh yang menghantui ruang tatami rumah tangga. Roh ini membawa keberuntungan kepada keluarga yang dikunjungi dan membawa keberuntungan itu ketika mereka pergi. (Ueda Akinari)

Kisah zashiki-warashi menceritakan nasib rumah tangga Tono yang selalu berubah. Para keluarga mengalami musim dingin yang panjang, kelaparan, kekurangan gizi, dan bencana alam. Menurut Ishikura, semua bencana itu menyebabkan budaya menerima yoshi, anak yatim piatu atau anak telantar.

Zashiki-warashi sering terlihat bermain di ruangan terbuka, kata Ishikura. Da siapa pun yang menyaksikannya tidak boleh ikut campur.

Sasaki mendalilkan bahwa zashiki-warashi adalah roh anak-anak yang dibunuh dan dikuburkan di dalam rumah. Sekali lagi, hal ini meningkatkan momok pembunuhan bayi yang tersebar luas di wilayah Tohoku di masa lalu.