Nationalgeographic.co.id – Chevauchée adalah sebuah taktik militer terkemuka yang digunakan pada sejarah Abad Pertengahan, terutama pada Perang Seratus Tahun.
Tujuan utamanya adalah untuk melemahkan musuh bukan melalui pertempuran skala besar namun dengan mendatangkan malapetaka pada sumber daya ekonomi dan menurunkan moral dengan menyerang sasaran non-militer.
Berasal dari era ketika aturan peperangan sangat berbeda dari sekarang, Chevauchées tidak hanya membahas tentang pertarungan langsung tetapi juga tentang perang psikologis dan penipisan sumber daya.
Akar Chevauchée dapat ditelusuri kembali ke peperangan feodal di sejarah Abad Pertengahan. Tepatnya, pada penggunaannya yang paling menonjol terjadi selama Perang Seratus Tahun, serangkaian konflik antara Inggris dan Prancis dari tahun 1337 hingga 1453.
Periode ini ditentukan oleh perebutan dominasi atas takhta Perancis, dengan raja-raja Plantagenet Inggris yang menyatakan klaim atas wilayah Perancis.
Dalam catatan sejarah Abad Pertengahan, Chevauchée muncul sebagai taktik utama dalam pertempuran berkepanjangan ini. Hal ini terutama digunakan oleh Inggris untuk mengeksploitasi mobilitas mereka dan mengganggu sumber daya Prancis.
Salah satu penggunaan Chevauchée yang paling awal dan paling signifikan adalah oleh Edward III dari Inggris pada tahun 1339. Dia menggunakan taktik tersebut untuk mengganggu perekonomian Prancis.
Chevauchée bukan semata-mata taktik Inggris. Namun, penggunaannya oleh orang Inggris paling jelas tercatat dalam catatan sejarah. Strategi ini memainkan peran penting dalam melemahkan perekonomian Perancis dan melemahkan moral mereka.
Pasukan ini berperan penting dalam kemenangan Inggris pada fase awal Perang Seratus Tahun, meskipun jumlah mereka lebih rendah.
Istilah 'Chevauchée' sendiri, berasal dari kata Perancis yang berarti menunggang kuda. Inti dari strategi ini adalah pergerakan cepat, serangan mendadak dan mobilitas ekstensif.
Kavaleri bersenjata ringan bergerak cepat melintasi wilayah musuh. Pasukan ini akan melewati posisi yang dijaga ketat dan menargetkan desa, pertanian, dan kota-kota kecil.
Tujuan utamanya adalah menghancurkan tanaman, ternak, dan infrastruktur, yang secara efektif melemahkan basis ekonomi musuh dan kemampuan mereka untuk mempertahankan kampanye militer yang berkepanjangan.