Restorasi Pendidikan: Guru Seharusnya Berhenti Memberikan PR!

By Galih Pranata, Minggu, 7 Januari 2024 | 10:00 WIB
Mengajarkan keterampilan lebih baik dibandingan memberi tugas tambahan atau pekerjaan rumah kepada siswa yang kerap kali menimbulkan masalah akademis. (Unsplash)

Nationalgeographic.co.id—Kurikulum pendidikan terkadang dibuat terlalu kaku. Guru diminta untuk memberikan tugas tambahan sebelum menutup pelajaran hari itu. Pekerjaan rumah (PR) seolah jadi menu wajib penutup pembelajaran.

Jika berkaca pada pendidikan modern, guru sudah seharusnya berhenti untuk memberikan PR kepada siswanya. Chris McNutt meluncurkan riset tentang PR yang diberikan oleh guru dari sisi kebermanfaatan dan dampaknya.

Baginya, "pekerjaan rumah adalah praktik ketidak-adilan yang lebih merugikan individu tertentu." Chris McNutt menulisnya kepada Human Restoration Project dalam artikel berjudul This is why we should stop giving homework, terbitan 27 Januari 2023.

Pertanyaannya, apa manfaat dari memberikan PR kepada siswa? Apakah dengan PR, siswa dapat belajar?

Gretchen Livingston dalam risetnya mengungkap bahwa "rata-rata, remaja menghabiskan sekitar satu jam sehari untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, yaitu 30-45 menit."

Ia merangkumnya dalam Pew Research dalam artikel berjudul The way U.S. teens spend their time is changing, but differences between boys and girls persist yang diterbitkan pada 20 Februari 2019.

Lantas, dari data tersebut, Presiden di Irlandia telah menerapkan kebijakan untuk melarang guru di sana memberikan PR kepada siswanya. Pasalnya, terdapat sebuah riset di Irlandia yang menyebut bahwa pekerjaan rumah jarang terbukti berdampak pada prestasi.

Hal ini didukung oleh hasil studi penelitian yang dilakukan oleh David P. Baker dan Gerald K. LeTendre. Mereka melakukan proyek riset skala besar dengan masa penyelidikan selama 4 tahun terhadap sekolah di 47 negara.

Dari hasil risetnya menyimpulkan bahwa negara-negara yang memberikan pekerjaan rumah paling sedikit: Denmark dan Republik Ceko, memiliki nilai ujian yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang memberikan pekerjaan rumah paling banyak: Iran dan Thailand.

Maka dari itu, keputusan yang diambil oleh Presiden Irlandia, menyimpulkan bahwa tidak adanya korelasi antara prestasi akademik dan pekerjaan rumah yang dibebankan kepada siswa, utamanya di sekolah dasar.

Dalam kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup, murid tidak hanya belajar di kelas tetapi juga langsung melakukan pengamatan di lapangan. Kekayaan alam Kofiau membuat murid-murid SD N 28 Awat mengenal lingkungannya untuk dijaga. (Garry Lotulung)

Hemat saya, beberapa masalah akademis sedikit banyaknya timbul akibat PR yang menjadi beban siswa. Faktanya, sejumlah kendala di lapangan pendidikan banyak di antara siswa mengalami masalah akademis. Hal ini agaknya mengacu pada riset psikologi pendidikan.

Valerie A Cool dan Timothy Z Keith dalam jurnal Contemporary Educational Psychology, berjudul Testing a model of school learning: Direct and indirect effects on academic achievement (1991) menyebut adanya masalah akademis yang ditimbulkan karena PR.

Sejumlah 28.051 siswa sekolah menengah atas dalam risetnya menyimpulkan bahwa kualitas pengajaran, motivasi, dan kemampuan semuanya berkorelasi dengan keberhasilan akademik siswa.

Sebaliknya, "efektivitas pekerjaan rumah (PR) masih kecil atau bahkan kontraproduktif." Yang ada, itu hanya menyebabkan lebih banyak masalah akademis daripada yang diharapkan untuk dipecahkan.

Pekerjaan rumah hanya akan menambah tekanan akademis, lenih-lebih tekanan sosial bagi mereka yang sudah mengalami tekanan lain di rumah. Hal ini menyebabkan kesenjangan lebih jauh dalam prestasi akademis mereka.

Penelitian terbaru di tahun 2014, dilakukan oleh Charles B. Chang dan tim risetnya. Ia menulisnya dalam Journal of Educational Psychology berjudul Relationships of attitudes toward homework and time spent on homework to course outcomes: The case of foreign language learning.

Mereka menemukan dalam risetnya bahwa waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah mempunyai dampak negatif yang signifikan terhadap nilai dan masalah akademis lainnya.

Para peneliti menyimpulkan bahwa hal ini mungkin terjadi karena siswa harus menghabiskan waktu mereka untuk menyelesaikan PR mereka pada lembar kerja dibandingkan untuk menghabiskan waktu mengasah keterampilan mereka.

Sekolah swasta di banyak studi riset pendidikan, terkenal dengan tingkat tugas tambahan dan pekerjaan rumah yang ekstrem. Hal ini yang kemudian memengaruhi "penentuan tingkat kegagalan masuk perguruan tinggi terbaik di negara mereka," sambung McNutt.

McNutt meneruskan, "Sepertinya dengan membebani siswa dengan segudang pekerjaan rumah setiap malam dalam upaya memasukkan mereka ke perguruan tinggi tersebut, kita justru memperburuk peluang mereka untuk sukses."

Jika saja siswa diminta untuk dapat bersaing masuk perguruan tinggi terbaik di negerinya, alih-alih belajar, PR hanya akan membebani mereka. Lagi pula, akan sangat sulit jika menyelesaikan tugas apalagi fokus belajar setelah hari yang melelahkan.

Dalam pendidikan humanis, ketersediaan ruang, waktu, dan tenaga tersebut harus selalu dipertimbangkan dalam konteks pendidikan keluarga, pendapatan, waktu yang tersedia demi kesehatan mental siswa.

Amerika Serikat sendiri selain menghapus PR, juga mempertimbangkan waktu kerja. Hal ini berorientasi kepada kerja orang tua siswa agar dapat memberikan ruang interaksi dengan siswanya. Menciptakan komunikasi keluarga yang baik.

Melalui sejumlah data yang dipaparkan, harapannya setiap guru secara bijaksana menyikapi pendidikan secara bijaksana jua. Tujuannya, agar dapat tercapai tujuan pembelajaran dan meningkatkan mutu pendidikan yang lebih baik lagi.