Nationalgeographic.co.id—Sejarah guillotine bisa ditelusuri dari Revolusi Prancis tahun 1790-an. Namun mesin eksekusi serupa telah ada selama berabad-abad sebelumnya.
Alat pemenggal kepala yang disebut planke digunakan di Jerman dan flanders selama Abad Pertengahan. Dan orang Inggris memiliki kapak geser yang dikenal sebagai Halifax Gibbet. Alat ini mungkin telah digunakan untuk menebas kepala sejak jaman dahulu.
Guillotine Prancis kemungkinan besar terinspirasi oleh dua mesin sebelumnya. Pertama, mannaia era Renaisans dari Italia. Dan, kedua, adalah scottish maiden yang terkenal kejam dan merenggut nyawa sekitar 120 orang antara abad ke-16 dan ke-18.
Bukti juga menunjukkan bahwa guillotine primitif mungkin telah digunakan di Prancis jauh sebelum masa Revolusi Prancis.
Awalnya dikembangkan sebagai metode eksekusi yang lebih manusiawi
“Asal usul guillotine Prancis dimulai pada akhir tahun 1789,” tulis Evan Andrews di laman History. Saat itu Dr. Joseph-Ignace Guillotin mengusulkan agar pemerintah Prancis mengadopsi metode eksekusi yang lebih “ramah”.
Secara pribadi, Guillotin menentang hukuman mati. Namun ia berpendapat bahwa pemenggalan kepala dengan mesin secepat kilat akan lebih manusiawi dan egaliter. Hal ini dibandingkan pemenggalan kepala dengan pedang dan kapak, yang sering kali gagal.
Guillotin kemudian membantu mengawasi pengembangan prototipe pertama. Alat mengesankan tersebut dirancang oleh dokter Prancis Antoine Louis dan dibuat oleh pembuat harpsichord Jerman bernama Tobias Schmidt.
Alat eksekusi ini “memakan” korban pertamanya pada bulan April 1792 dan dengan cepat dikenal sebagai “guillotine”. Penamaan tersebut membuat penemunya sangat ketakutan.
Guillotin mencoba menjauhkan diri dari mesin tersebut selama histeria guillotine pada tahun 1790-an. Bahkan keluarganya kemudian gagal mengajukan petisi kepada pemerintah Prancis untuk mengubah namanya pada awal abad ke-19.
Eksekusi guillotine menjadi tontonan masyarakat
Selama Pemerintahan Teror pada pertengahan tahun 1790-an, ribuan “musuh Revolusi Prancis” menemui ajalnya dengan pisau guillotine. Beberapa anggota masyarakat awalnya mengeluh bahwa mesin tersebut terlalu cepat dan klinis. Akan tetapi, prosesnya berkembang menjadi hiburan tingkat tinggi dalam waktu singkat.
Orang-orang berbondong-bondong datang ke tempat de la Revolution untuk menyaksikan guillotine melakukan pekerjaannya yang mengerikan.
Tak lama, lagu, puisi, dan lelucon tentang guillotine pun beredar. Penonton dapat membeli suvenir atau membaca informasi yang mencantumkan nama para korban. Mereka bahkan bisa menikmati santapan di restoran terdekat bernama “Cabaret de la Guillotine.”
Ketertarikan terhadap guillotine memudar pada akhir abad ke-18. Namun pemenggalan kepala di depan umum terus berlanjut di Prancis hingga tahun 1939.
Miniatur guillotine menjadi mainan anak-anak yang populer
Anak-anak sering menghadiri eksekusi guillotine. Sebagian anak-anak bahkan mungkin pernah bermain dengan miniatur guillotine mereka sendiri di rumah.
Pada tahun 1790-an, replika pisau dan kayu setinggi dua kaki adalah mainan yang populer di Prancis. Anak-anak menggunakan guillotine yang berfungsi penuh untuk memenggal kepala boneka atau bahkan hewan pengerat kecil.
Beberapa kota akhirnya melarangnya karena takut akan memberikan pengaruh yang tidak baik bagi anak-anak. Guillotine baru juga ditemukan di beberapa meja makan kelas atas, di mana mereka digunakan sebagai alat pengiris roti dan sayuran.
Algojo guillotine merupakan selebriti nasional
Seiring dengan meningkatnya ketenaran guillotine, reputasi algojonya juga meningkat. Para algojo mendapatkan banyak ketenaran selama Revolusi Prancis ketika mereka dinilai berdasarkan seberapa cepat dan tepat mereka dapat mengatur pemenggalan berkali-kali.
Pekerjaan itu sering kali merupakan bisnis keluarga. Beberapa generasi keluarga Sanson yang terkenal bertugas sebagai algojo negara dari tahun 1792 hingga 1847. Mereka bertanggung jawab menjatuhkan pisau pada Raja Louis XVI dan Marie Antoinette, di antara ribuan lainnya.
Para ilmuwan melakukan penelitian mengerikan pada kepala orang yang dihukum
Sejak awal penggunaannya, banyak spekulasi yang beredar mengenai apakah kepala orang yang dipenggal tetap sadar setelah dipotong. Perdebatan ini mencapai puncaknya pada 1793, ketika seorang asisten algojo menampar wajah kepala salah satu korbannya. Saat itu para penonton mengaku melihat pipinya memerah karena marah.
Dokter kemudian meminta para terpidana untuk mencoba mengedipkan mata atau membiarkan satu mata terbuka setelah eksekusi untuk membuktikan bahwa mereka masih bisa bergerak. Dan yang lain meneriakkan nama almarhum atau memaparkan kepala mereka ke lilin menyala dan amonia untuk melihat reaksinya.
Pada 1880, seorang dokter bernama Dassy de Lignieres bahkan memompa darah ke kepala seorang pembunuh anak yang dipenggal kepalanya. “Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pembunuh itu dapat hidup kembali dan dapat berbicara,” tambah Andrews.
Eksperimen mengerikan ini dihentikan pada abad ke-20. Tapi penelitian terhadap tikus menemukan bahwa aktivitas otak dapat berlanjut selama sekitar 4 detik setelah pemenggalan kepala.
Guillotine digunakan untuk eksekusi oleh Nazi
Guillotine paling terkenal dikaitkan dengan Prancis yang revolusioner. Alat ini mungkin juga memakan banyak korban jiwa di Jerman pada masa Third Reich. Adolf Hitler menjadikan guillotine sebagai metode eksekusi negara pada tahun 1930-an. Ia memerintahkan agar 20 alat eksekusi tersebut ditempatkan di kota-kota di seluruh Jerman.
Menurut catatan Nazi, guillotine akhirnya digunakan untuk mengeksekusi sekitar 16.500 orang antara tahun 1933 dan 1945. Banyak dari mereka adalah pejuang perlawanan dan pembangkang politik.
Guillotine terakhir digunakan pada tahun 1970an
Guillotine tetap menjadi metode hukuman mati negara Prancis hingga akhir abad ke-20. Terdakwa pembunuh Hamida Djandoubi menjadi orang terakhir yang menemui ajalnya dengan guillotine pada 1977. Digunakan selama 189 tahun, guillotie secara resmi berakhir pada bulan September 1981.