Kembalinya ke Athena terjadi pada tahun 407 SM, dalam suatu pembalikan nasib yang dramatis. Dengan memburuknya situasi militer Athena, oligarki Athena, yang merebut kekuasaan pada tahun 411 SM, melihat Alcibiades sebagai penyelamat potensial.
Kecakapan dan pengalaman militernya dianggap sangat berharga sehingga menyebabkan dia dipanggil kembali.
Dia diberi komando armada Athena dan meraih beberapa kemenangan. Keberhasilan ini secara singkat menghidupkan kembali harapan Athena dalam perang tersebut. Hal ini memperkuat reputasinya dan memulihkan posisinya dalam masyarakat Athena untuk sementara.
Namun, strategi agresif dan perubahan kesetiaannya juga berkontribusi terhadap ketidakstabilan di Athena. Tindakannya, terutama pembelotannya ke Sparta dan aliansi berikutnya dengan Persia, dipandang oleh banyak orang sebagai pengkhianatan, melemahkan kedudukan dan kepercayaannya di mata banyak orang Athena.
Akibatnya, kekalahan armada Athena di Notium pada tahun 406 SM, meski bukan kesalahannya secara langsung, dimanfaatkan oleh musuh-musuh politiknya.
Dia dicopot dari komando. Hal ini menandai berakhirnya keterlibatan langsungnya dalam perang, yang akhirnya berakhir dengan kekalahan Athena pada tahun 404 SM.
Pengasingan Terakhir dan Pembunuhan Alcibiades
Reaksi politik yang diakibatkannya memaksa Alcibiades ke pengasingan terakhirnya. Dia mengasingkan diri ke sebuah benteng di Thracian Chersonese, tempat dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya, terputus dari dunia politik yang telah menjadi panggung karier dramatisnya.
Kematiannya pada tahun 404 SM menjadi subjek dari berbagai catatan, namun versi yang paling umum diterima adalah bahwa ia dibunuh oleh agen gubernur Persia Pharnabazus, mungkin atas perintah Sparta atau bahkan Athena yang melihatnya sebagai seorang ancaman lanjutan.
Rumah Alcibiades dilaporkan dibakar. Setelah kematiannya, dia sering dikenang karena pengkhianatan dan kontroversinya.
Namun seiring berjalannya waktu, perspektif sejarah mulai mengapresiasi aspek kehidupannya yang lebih luas.
Kejeniusan militer, kecerdasan politik, dan kepribadian karismatiknya telah diakui memberikan kontribusi signifikan terhadap jalannya Perang Peloponnesia dan politik pada masa itu dalam sejarah Yunani kuno.
Kemampuannya untuk menavigasi lanskap politik berbahaya di Athena, Sparta, dan Persia, yang sering kali mengubah situasi putus asa menjadi keuntungannya, telah menjadi daya tarik tersendiri.
Kehidupannya sering dilihat sebagai cerminan kekuatan dan kelemahan demokrasi Athena itu sendiri–yang mampu mencapai prestasi besar namun juga rentan terhadap keinginan opini publik dan ambisi individu.