Kisah Pilu Wanrong, Permaisuri Terakhir di Kekaisaran Tiongkok

By Sysilia Tanhati, Selasa, 16 Januari 2024 | 07:00 WIB
Kehidupan dan kematian Permaisuri Wanrong, yang menikah dengan penguasa Kekaisaran Tiongkok terakhir, adalah salah satu penderitaan yang sangat besar. (Public Domain)

Wanrong mulai menderita neurastenia, dengan sakit kepala dan kelelahan di antara gejala lainnya. Sementara itu, dia semakin depresi. Puyi tidak pernah mencintainya dan Wanrong menderita kesepian, kebosanan, serta pengabaian.

Wenxiu juga tidak senang dengan kondisi mereka dan dia meninggalkan Puyi pada tahun 1931. Puyi menyalahkan Wanrong dan menulis dalam memoarnya The Last Manchu: The Autobiography of Henry Pu Yi, Last Emperor of China bahwa dia mulai membenci Wanrong. Menurut Puyi, Wanrong telah mengusir Wenxiu. Puyi hampir berhenti berbicara dengannya setelah Wenxiu pergi.

Ketika hubungan mereka makin memburuk, nasib politik Wanrong dan Puyi juga berubah secara rumit. Pada tahun 1932, Jepang mengangkat Puyi sebagai pemimpin kerajaan boneka Manchukuo di Manchuria. Namun kekuasaan mereka di Manchukuo hanyalah ilusi. Wanrong terus diawasi dan mencoba, namun gagal, untuk melarikan diri berkali-kali.

Meskipun Puyi secara resmi dinobatkan sebagai Kaisar Manchukuo pada tahun 1934, Permaisuri Wanrong membenci kehidupan barunya dan jarang tampil di depan umum. Dia juga mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit mental yang lebih parah. Pada tahun 1938, ia bahkan merokok dua ons opium per hari.

Kemudian keadaan menjadi lebih buruk.

Tahun-tahun terakhir kehidupan Permaisuri Wanrong

Sekitar waktu ini, Permaisuri Wanrong mulai berselingkuh dengan dua pelayan Puyi, Li Tiyu dan Qi Jizhong. Segera, dia hamil.

Tidak ada yang sepenuhnya yakin apa yang terjadi ketika Wanrong melahirkan putrinya pada tahun 1935. Bayi tersebut tidak berumur panjang. Ada yang menyatakan bahwa Puyi sangat marah atas perselingkuhan istrinya. Puyi diduga melemparkan bayi yang baru lahir itu ke dalam ketel uap. Yang lain mengatakan bayi itu lahir mati.

Puyi mungkin memberi tahu Wanrong bahwa bayinya masih hidup dan dibesarkan oleh kakaknya. Namun kesehatan mental Wanrong menurun drastis setelah bayi tersebut lahir. Ketergantungannya pada opium segera meningkat.

Sang permaisuri menghabiskan siang dan malam di kamar megahnya untuk mengisap opium. Dia konon juga merokok dua bungkus setiap hari, jarang bangun dari tempat tidur. “Wanrong berhenti berdandan, menjadi lemah dan kurus, dan berhenti menghadiri ulang tahun atau perayaan Tahun Baru,” tambah Margaritoff.

Menurut CCTV, Wanrong hampir tidak bisa berjalan atau bahkan melihat ketika Soviet menginvasi Manchuria pada 1945. Puyi melarikan diri dari Manchuria, meninggalkan istrinya. Dia dan saudara iparnya ditangkap oleh komunis Tiongkok pada bulan Januari 1946. Saat itu Puyi sedang mencoba melarikan diri ke Korea. Dipenjara di Jilin, Wanrong menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam penderitaan dan mengigau karena kecanduan.

Dia tidak diberi makan dan dipajang seperti binatang di kebun binatang bagi masyarakat Tiongkok. Mereka memandang rendah Wanrong sebagai simpatisan Jepang. Pada bulan Juni 1946, Wanrong meninggal pada usia 39 tahun karena kekurangan gizi dan overdosis opium.

Ironisnya, jenazah permaisuri terakhir dari Kekaisaran Tiongkok itu tidak pernah ditemukan. Pada tahun 2006, keluarganya mengadakan upacara pemakaman simbolis untuknya.

Saat ini Permaisuri Wanrong dikenang sebagai sosok yang tragis. Terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta dan badai politik, Wanrong menjalani kehidupan yang sepi dan menyedihkan.