Sejumput Keajaiban Pangan Warga Desa Sambeng dari Tepi Sungai Progo

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 26 Januari 2024 | 14:53 WIB
Menggunakan perahu rakit ramon, Trimo Jenggot (kanan) dan Mbah Kirman (kiri) menebar jala di Sungai Progo. Mereka menangkap berbagai jenis ikan, termasuk ikan beong yang sangat khas dengan Desa Budaya Sambeng. Kebutuhan pangan di desa ini selalu terpenuhi karena mengikuti warisan leluhur akan ketahanan pangan. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Bentang alam perkampungan di tepi Sungai Progo yang membentang dari Desa Candirejo sampai Desa Budaya Sambeng. Konturnya miring, sehingga warga kurang berminat untuk menanam padi. Mereka cenderung berladang palawija, dan berkebun buah-buahan demi memenuhi ketahanan pangan. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Meski demikian, ikan beong jarang dimakan oleh warga Desa Sambeng. Ikan ini lebih sering dibawa ke pasar untuk diperjualbeli atau ditukar dengan kebutuhan pangan lain. Penjualan ikan beong ini yang membuat Desa Sambeng terkenal.

"Dia ikan favorit dan harganya tinggi, sehingga sesekali makan beong. Lebih baik dijual. Kecuali kalau enggak ada yang beli, baru dimakan," ujar Cuk.

Ada banyak hasil olahan warga Desa Sambeng. Mereka mengolah berbagai hasil bumi menjadi pangan yang selalu tersedia. "Mereka (warga Desa Sambeng) sempat bercerita dulu sempat bikin kayak nasi tiwul. Saat beras susah, mereka makannya nasi tiwul," jelas Cuk.

Keajaiban ketahanan pangan Desa Budaya Sambeng

Sungai Progo menjadi denyut utama warga Desa Sambeng. Dulu, sebelum ada jembatan yang menghubungkan desa dengan daerah lain di Kecamatan Borobudur, warga menggunakan ramon, perahu rakit terbuat dari bambu, demi menyeberangi Sungai Progo.

Masyarakat membawa hasil bumi seperti ikan, mangga, bunga kenanga, durian, dan lainnya untuk dibawa ke Pasar Japuhan di Kecamatan Muntilan. Hasil bumi itu ditukar dengan beras dan kebutuhan lainnya. Pastinya, Pasar Japuhan ini telah ada sejak zaman Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.

Hari ini, kegiatan pertukaran tersebut masih dilakukan oleh beberapa warga desa. Dengan demikian, kebutuhan pangan bisa terpenuhi tanpa harus mengeluarkan uang, sembari bertukar hasil kekayaan alam.

"Sambeng punya sungai, taping enggak punya sawah. Kalau mau makan nasi bagaimana? Orang-orang Sambeng cukup berdaya untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan hasil bumi lainnya: Tanam buah, palawija, perikanan, dan usaha lain yang bisa ditukar dengan beras," ungkap Dwi.

Ramuan rujak semelak terdiri dari rempah-rempah dengan bahan utama mengkudu yang dipercaya mujarab untuk pencernaan dan pereda tekanan darah tinggi. Semua ramuan ini tersedia sebagai warisan ketahanan pangan di Desa Budaya Sambeng, desa yang berada di tepi Sungai Progo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

"Mereka juga membuat jamu yang sangat khas. Saya enggak tahu apakah ini ditemukan di tempat lain ya. Namanya wedang semelak. Mungkin di tempat lain dalam bentuk nama berbeda," terang Cuk.

Wedang semelak merupakan jamu terbuat dari buah mengkudu. Buah yang terkenal bau dan pahit, ternyata memiliki khasiat untuk kebugaran.

Warga mengolah secara tradisional buah mengkudu dengan campuran aneka rempah untuk membuat wedang semelak. Ada banyak rempah yang ditanam di sini, seperti jahe dan kunir yang dimanfaatkan untuk minuman berkhasiat.

Setelah diramu, wedang semelak mengubah kesan bau dan pahit buah mengkudu dengan aroma yang tidak menyengat dan nikmat di lidah. Inilah salah satu keajaiban sekaligus keberdayaan tradisi dalam ketahanan pangan khas warga Desa Sambeng.

"Semua warga mengingat sesanti hidup sehari-hari dalam sambang, sambung, sumbang, sambeng. Sebuah ungkapan yang mengingatkan mereka untuk senantiasa bergotong-royong, saling mengunjungi, saling mengenali, saling berbagi, dan saling berkontribusi untuk kehidupan bersama yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera," kesan Cuk.