Studi: Tayangan Digital pada Anak Perlambat Kemampuan Sensori

By Laurensia Felise, Jumat, 26 Januari 2024 | 19:00 WIB
Anak-anak, terutama bayi dan balita, yang terpapar tayangan digital sejak dini berisiko mengalami kelambatan pada kemampuan sensori. (Pixabay/Pexels)

Begitu pula dengan paparan tayangan digital pada anak usia dua tahun yang terkait dengan peningkatan risiko atipikal sebesar 20 persen. Hal ini bisa berakibat pada pencarian sensasi yang lebih intens, rendahnya sensitivitas sensorik, dan kecenderungan menghindari rangsangan saat menginjak usia 33 bulan.

Dampak paparan tayangan digital pada bayi dan balita dalam studi ini menjadi daftar tambahan dari berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan durasi menonton pada anak usia dini. Beberapa gangguan yang muncul terkait dengan masalah perilaku, gangguan tidur, kemampuan belajar bahasa yang lambat, serta autisme atau autism spectrum disorder (ASD).

Menurut Karen Heffler, profesor rekanan dari Drexel's College of Medicine, penelitian ini memiliki implikasi terhadap autisme dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) karena pemrosesan sensori atipikal jauh lebih umum terjadi pada kalangan anak.

"Perilaku repetitif, misalnya autisme, memiliki hubungan yang tinggi dengan pemrosesan sensori atipikal. Penelitian ke depan bisa menentukan apakah paparan tayangan digital pada usia dini bisa memicu keterhubungan otak sensori yang berlebihan sebagaimana terlihat dalam gangguan autisme, misalnya peningkatan respons otak terhadap rangsangan sensori," tambahnya sebagaimana dilansir dari Science Daily.

Penanganan untuk Mengurangi Tayangan Digital pada Anak

Pemrosesan sensori atipikal anak-anak dengan gangguan tertentu bisa terwujud dalam ragam perilaku. Pada anak dengan autisme, perilaku hiperaktif, sifat mudah tersinggung, serta kesulitan dalam bersosialisasi, makan, dan tidur menjadi hal yang umum terjadi. Sementara itu, rendahnya kualitas hidup dan kecemasan menjadi akibat dari pemrosesan sensori atipikal pada anak-anak dengan ADHD.

"Dengan pertimbangan hubungan antara durasi menonton tayangan yang tinggi serta serangkaian masalah perilaku dan perkembangan, ini bisa berdampak baik pada balita yang menunjukkan gejala tersebut untuk melakukan pengurangan waktu menonton ditambah dengan latihan pemrosesan sensori oleh terapis okupasi," jelasnya.

Terkait dengan rekomendasi tontonan tayangan digital, baik televisi, DVD, maupun tontonan dalam gawai, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa anak-anak di bawah usia dua tahun untuk tidak menonton tayangan digital atau melakukan screen time. Sementara itu, anak-anak di bawah usia lima tahun disarankan untuk memiliki screen time maksimal selama satu jam.

Tak hanya itu, WHO juga mengimbau orangtua untuk mendorong anak untuk melakukan aktivitas yang mendorong kemampuan sensori. Beberapa contohnya adalah mengobrol, membaca dongeng, dan bermain aktivitas fisik dengan durasi tertentu.

David Bennett, profesor Drexel's College of Medicine, menambahkan bahwa pelatihan dan edukasi kepada orangtua menjadi kunci dari mengurangi bahkan menghindari waktu paparan tayangan digital pada anak di bawah usia dua tahun.