Studi: Tayangan Digital pada Anak Perlambat Kemampuan Sensori

By Laurensia Felise, Jumat, 26 Januari 2024 | 19:00 WIB
Anak-anak, terutama bayi dan balita, yang terpapar tayangan digital sejak dini berisiko mengalami kelambatan pada kemampuan sensori. (Pixabay/Pexels)

Nationalgeographic.co.id—Era digital membuat munculnya perubahan pola asuh pada anak. Salah satunya adalah keterlibatan penggunaan gawai dan tayangan digital, seperti televisi dan video, yang kian sering digunakan sebagai hiburan bagi si kecil.

Meski mempermudah anak dalam mencari hiburan lain, tayangan digital pada anak sejak dini memiliki risikonya tersendiri. Berdasarkan penelitian terbaru Universitas Drexel, bahaya tayangan digital tersebut tidak hanya sekadar mengganggu kemampuan motorik dan regulasi emosi.

Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal JAMA Pediatrics. Temuannya menunjukkan bahwa tayangan digital pada anak berpengaruh pada kemampuan perilaku sensorik atipikal pada anak usia dini, terutama pada bayi dan balita. Hal ini terkait dengan rendahnya kemampuan mengenal hingga adanya kecenderungan menghindari sensitivitas sensorik.

Lebih rinci, bentuk pengaruhnya meliputi pemisahan diri dari berbagai kegiatan, keinginan untuk mencari rangsangan yang lebih intens di lingkungan sekitar, serta merasa kewalahan saat merasakan sensasi tertentu seperti suara keras dan lampu yang terang. Contohnya adalah perlambatan respons saat merasakan, mendengar, melihat, dan mengecap stimulasi yang diberikan.

 

Bahaya Tayangan Digital pada Anak dari Segala Usia

Dengan menggunakan data dari Studi Anak Nasional Amerika Serikat, para peneliti mencatat bahwa setidaknya 1.471 bayi dan balita pada usia 12 bulan, 18 bulan, dan 24 bulan yang terekam pada 2011 sampai 2014.

Metode yang digunakan adalah menunjukkan tayangan digital televisi dan DVD ditambah dengan pengisian kuesioner oleh orangtua dan/atau pengasuh anak.

Berdasarkan usia bayi dan balita yang diteliti, ada tiga hasil yang didapat dengan penilaian pada kemampuan sensorik melalui pola pengenalan dan pencarian sensasi dari stimulasi yang diberikan.

Untuk anak berusia satu tahun, paparan tayangan digital yang diberikan pada tahun pertama berisiko pada tingginya perilaku sensorik yang tidak sesuai pola umum. Hal ini kemudian berkaitan dengan rendahnya kemampuan mengenal rangsangan pada usia 33 bulan.

Pada usia 1,5 tahun, setiap tambahan jam dari paparan tayangan digital bisa memicu peningkatan risiko perilaku sensorik yang tidak sesuai pola umum atau atipikal sebesar 23 persen.

Sebagai dampaknya, kemampuan pengenalan rangsangan yang rendah dan kecenderungan menghindari stimulasi yang diberikan bisa terjadi saat usia 33 bulan.

Begitu pula dengan paparan tayangan digital pada anak usia dua tahun yang terkait dengan peningkatan risiko atipikal sebesar 20 persen. Hal ini bisa berakibat pada pencarian sensasi yang lebih intens, rendahnya sensitivitas sensorik, dan kecenderungan menghindari rangsangan saat menginjak usia 33 bulan.

Dampak paparan tayangan digital pada bayi dan balita dalam studi ini menjadi daftar tambahan dari berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan durasi menonton pada anak usia dini. Beberapa gangguan yang muncul terkait dengan masalah perilaku, gangguan tidur, kemampuan belajar bahasa yang lambat, serta autisme atau autism spectrum disorder (ASD).

Menurut Karen Heffler, profesor rekanan dari Drexel's College of Medicine, penelitian ini memiliki implikasi terhadap autisme dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) karena pemrosesan sensori atipikal jauh lebih umum terjadi pada kalangan anak.

"Perilaku repetitif, misalnya autisme, memiliki hubungan yang tinggi dengan pemrosesan sensori atipikal. Penelitian ke depan bisa menentukan apakah paparan tayangan digital pada usia dini bisa memicu keterhubungan otak sensori yang berlebihan sebagaimana terlihat dalam gangguan autisme, misalnya peningkatan respons otak terhadap rangsangan sensori," tambahnya sebagaimana dilansir dari Science Daily.

Penanganan untuk Mengurangi Tayangan Digital pada Anak

Pemrosesan sensori atipikal anak-anak dengan gangguan tertentu bisa terwujud dalam ragam perilaku. Pada anak dengan autisme, perilaku hiperaktif, sifat mudah tersinggung, serta kesulitan dalam bersosialisasi, makan, dan tidur menjadi hal yang umum terjadi. Sementara itu, rendahnya kualitas hidup dan kecemasan menjadi akibat dari pemrosesan sensori atipikal pada anak-anak dengan ADHD.

"Dengan pertimbangan hubungan antara durasi menonton tayangan yang tinggi serta serangkaian masalah perilaku dan perkembangan, ini bisa berdampak baik pada balita yang menunjukkan gejala tersebut untuk melakukan pengurangan waktu menonton ditambah dengan latihan pemrosesan sensori oleh terapis okupasi," jelasnya.

Terkait dengan rekomendasi tontonan tayangan digital, baik televisi, DVD, maupun tontonan dalam gawai, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa anak-anak di bawah usia dua tahun untuk tidak menonton tayangan digital atau melakukan screen time. Sementara itu, anak-anak di bawah usia lima tahun disarankan untuk memiliki screen time maksimal selama satu jam.

Tak hanya itu, WHO juga mengimbau orangtua untuk mendorong anak untuk melakukan aktivitas yang mendorong kemampuan sensori. Beberapa contohnya adalah mengobrol, membaca dongeng, dan bermain aktivitas fisik dengan durasi tertentu.

David Bennett, profesor Drexel's College of Medicine, menambahkan bahwa pelatihan dan edukasi kepada orangtua menjadi kunci dari mengurangi bahkan menghindari waktu paparan tayangan digital pada anak di bawah usia dua tahun.