Peran Sandal Jepit dalam Sejarah Dunia, dari Mesir Kuno Hingga Kini

By Wawan Setiawan, Jumat, 26 Januari 2024 | 18:00 WIB
Sepasang sandal jepit yang dikenakan di pantai. Sandal jepit ribuan tahun lalu hingga kini memiliki peran dalam sejarah dunia dan hidup manusia. (Wikipedia/Peachyeung316)

Sandal Mesir terbuat dari papirus dan bahan lainnya, termasuk kulit dan kayu. Orang Yunani dan Romawi kuno juga memakai sandal; dewa Yunani Hermes (dikenal oleh orang Romawi sebagai Merkurius) sering digambarkan dengan sandal yang memiliki sayap. Namun, seiring dengan bangkitnya agama Kristen, sandal menjadi tidak populer karena para pemimpin gereja menganggap sandal membuat kaki perempuan terlalu telanjang.

Awalnya, penggunaan sandal di Mesir Kuno masih bersifat sesekali dan sebagian besar hanya digunakan untuk aktivitas di luar ruangan, terutama saat bepergian.

Sebenarnya, mayoritas orang Mesir kuno sendiri tidak pernah memakai alas kaki. Kebanyakan mereka yang berstatus tinggi tidak pernah memakai alas kaki di dalam rumah. Faktanya, Firaun sendiri tidak rutin memakai alas kaki di dalam rumah hingga akhir dinasti, sekitar 3.000 tahun yang lalu.

Bahkan, melepas sandal di hadapan individu atau dewa yang berpangkat lebih tinggi, juga diketahui sebagai cerminan rasa hormat.

Sandal yang dijahit ini berasal dari makam Tutankhamun dengan penutup linen. (André J. Veldmeijer)

Ketika Alexander Agung mempersatukan bangsa Yunani pada abad keempat SM, masyarakat yang dihasilkan adalah masyarakat yang sangat kaya dan memiliki waktu luang yang mengembangkan seni, ilmu pengetahuan, dan olahraga di bawah sistem demokrasi.

Orang Yunani juga mengembangkan berbagai jenis sandal dan gaya alas kaki lainnya, memberi nama pada berbagai gaya tersebut. Untungnya orang-orang Yunani menyimpan catatan yang teliti, sehingga memberikan deskripsi dan referensi yang akurat mengenai berbagai gaya alas kaki dan apa saja nama-namanya.

Hal ini tentu saja merupakan suatu kebetulan karena tidak ada bukti arkeologis mengenai alas kaki Yunani, dan sejarawan harus memanfaatkan deskripsi ini dan gaya yang digambarkan dalam karya seni yang masih ada. Ada aturan ketat mengenai siapa yang boleh mengenakan pakaian apa, kapan, dan untuk tujuan apa.

Sandal yang digunakan pada awal Kekaisaran Romawi juga sangat mirip dengan gaya Yunani dan bahkan mengikuti preseden yang sama yang ditetapkan untuk penggunaan terbatas sesuai dengan pangkat. Seperti orang Yunani, orang Romawi menamai sandal berbagai gaya, dan faktanya, "sandal" sendiri berasal dari nama latinnya, yaitu sandalium.

Namun, setelah abad kedua Masehi, ketika kekuatan Kekaisaran melemah, kualitas pembuatan alas kaki pun menurun. Pada abad ketujuh, Kekaisaran Kristen Romawi yang berbasis di Konstantinopel, menetapkan bahwa bertelanjang kaki tidak sopan jika bergaul dengan orang campuran.

Sandal pun akhirnya menghilang selama 1.300 tahun berikutnya, dan tetap digunakan secara konstan hanya dalam ordo biara tertutup.

Meskipun hilang, sandal tidak dilupakan. Seniman menggambarkan tokoh-tokoh klasik yang mengenakan sandal dalam lukisan dinding bertema alkitabiah selama Renaisans, dan sandal dikenakan oleh aktor yang menggambarkan tokoh-tokoh sejarah dalam pertunjukan teater.

Kini, seiring dengan perkembangan jaman, sandal jepit yang mulai dikenal dengan berbagai nama di dunia, mulai menjadi salah satu dari pelengkap fashion. Mereka dirubah dan dibentuk sedemikian rupa hingga memiliki nilai tampilan saat dipakai.

Namun tidak semua orang di dunia menyebutnya "sandal jepit". Di Selandia Baru, sandal ini disebut "jandals" (kependekan dari Japanese sandals). Di Australia dikenal sebagai "thongs" dan di Afrika Selatan disebut dengan nama "plakkies".

Bahkan, beberapa daerah di Amerika Serikat selain mengenalnya sebagai “flip-flop”, sandal jepit juga mempunyai nama khusus, seperti "zories" di Pantai Timur, "clam diggers" di Texas, dan "slippers" di Hawaii.

Ternyata, sandal jepit juga memiliki sejarah yang unik dan panjang ya.