Di sana, dia berkunjung ke beberapa kastil milik sang raja. Kastil utamanya dibangun oleh seorang arsitek dari Andalusia yang didekorasi dengan indah, sedangkan bangunan tempat tinggal masyarakat identik dengan dinding tembikar dengan atap kayu dan alang-alang.
Amatan Ibnu Batutah tentang Mali
Selama menetap di Mali, Ibnu Batutah mengamati tentang bagaimana tingginya keadilan di antara para warga. Begitu pula dengan hal yang terjadi di kalangan penjelajah, di mana mereka tidak takut dengan pencurian dan perampokan dengan kekerasan.
Di dalam masyarakatnya, warga Mali juga tekun dalam mengamati waktu-waktu berdoa dan mengajarkan anak-anak mereka untuk menjalankan ibadah. Dengan tingkat kehadiran yang tinggi saat ibadah, para laki-laki sering mengirimkan anak-anaknya untuk menyisakan tempat bagi mereka.
Pendidikan agama dari orang tua terhadap anak yang cukup keras juga terlihat dalam kebiasaan masyarakat Mali pada saat itu. Selain memukul anaknya jika tidak menghargai tanggung jawab ibadah, pemberian hukuman juga tampak agar anak-anak mereka bisa sungguh-sungguh belajar.
"Suatu hari, saya mengunjungi seorang kadi (hakim hukum Islam) dan anak-anaknya diikat. Saya tanya kepadanya, 'Mengapa Anda tidak melepaskan mereka?' Dia menjawab, 'Saya tidak akan melakukan hal tersebut sampai mereka hafal Al-Qur'an dengan sungguh-sungguh."
Namun, dia mengkritik beberapa hal yang ditemuinya di Kekaisaran Mali. Salah satunya adalah tentang kebiasaan para perempuan, terutama budak, pembantu, dan anak-anak sultan, yang tidak mengenakan sehelai pakaian terutama saat hadir di depan sang raja.
Di sisi lain, dia juga mengamati kemurahan hati Mansa Sulayman saat masih menetap di ibukota Kekaisaran Mali. Salah satunya adalah kisah saat sekelompok masyarakat kanibal berkunjung ke kediaman sang raja.
Mereka datang dengan mengenakan anting-anting besi yang besar serta mantel perak, lalu mengatakan bahwa mereka berasal dari daerah yang kaya akan emas. Mendengar hal itu, sang sultan memberikan mereka seorang budak perempuan sebagai persembahan yang kemudian dikonsumsi.
Setelah menetap di Mali selama berbulan-bulan, dia pergi ke Timbuktu bersama seorang pedagang. Perjalanan ini sempat dilakukannya dengan jalur darat menggunakan unta, lalu jalur laut dengan sebuah kapal kecil.
Dalam perjalanan inilah, Ibnu Batutah bertemu dengan seekor kuda nil untuk pertama kalinya. Pada masa itu, kuda nil dianggap sebagai hewan yang menakutkan bagi masyarakat yang menggunakan kapal.
"Mereka lebih besar dari seekor kuda, mereka memiliki surai dan ekor, kepalanya seperti kepala kuda dan kaki mereka seperti kaki gajah," jelasnya.
Setelah itu, dia berkunjung ke kota Gao yang dikenal sebagai pusat perdagangan. Kota tersebut banyak memiliki sumber-sumber seperti beras, ayam, ikan, hingga buah dari pohon baobao. Di sana, dia menetap selama sebulan dan melanjutkan perjalanan ke Takedda.
Perjalanan ini berakhir kala Ibnu Batutah diminta untuk kembali oleh Abu Inan Faris, Sultan Maroko saat itu. Selesai dari Takedda, dia kembali ke Fez melalui Sijilmasa dan sampai pada awal 1354.