Singkap Ketimpangan Gender di Balik Tudung Kepala Wanita Joseon

By Tri Wahyu Prasetyo, Kamis, 8 Februari 2024 | 13:00 WIB
Sseugae-chima, yang secara harfiah berarti rok penutup kepala, wajib dikenakan oleh setiap wanita di era Dinasti Joseon. (Via Gwangju News)

Ketika mereka tumbuh dewasa dan dipanggil oleh orang yang lebih tua, Shin menambahkan, “anak laki-laki harus menjawab dengan respon yang cepat dan tajam, tetapi anak perempuan harus menjawab dengan respon yang lambat dan lembut.”

Pendidikan yang mereka dapatkan juga berbeda. Pada usia lima tahun, anak laki-laki harus belajar angka dan empat arah; pada usia sembilan tahun, mereka diajari menghitung hari; dan pada usia sepuluh tahun, mereka dikirim untuk diajar oleh seorang guru. 

Sedangkan untuk anak perempuan yang berusia sepuluh tahun, mereka tidak boleh keluar rumah tetapi harus belajar memintal, membudidayakan ulat sutera, menjahit, membuat pakaian, mempersiapkan upacara, dan lain-lain.

Perbedaan gender juga terlihat jelas dalam struktur rumah. Bangunan bagian dalam diperuntukkan bagi perempuan dan bangunan luar adalah tempat tinggal laki-laki. 

Di antara kedua bangunan tersebut terdapat gerbang tengah, dan kecuali pada acara-acara tertentu, tidak ada pria yang diperbolehkan masuk ke dalam gerbang.

Kerabat yang boleh bertatap muka dengan perempuan hanya orang tua, saudara kandung, mertua, paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu.

Ketika sudah menikah, pakaian untuk suami dan istri tidak boleh dicampur di rak. Dan ketika mereka berjalan bersama, sang pria harus berjalan di sisi kanan dan wanita di sisi kiri.

Wanita harus membatasi diri mereka sebisa mungkin untuk keluar rumah. Wanita kelas atas di era Dinasti Joseon hanya melakukan beberapa kali perjalanan keluar rumah selama hidup mereka.

Jika pada situasi yang mendesak dan mengharuskan keluar rumah, mereka harus menutupi wajah mereka dengan sseugae-chima atau menaiki tandu yang digotong oleh empat orang pria.

Menurut Shin, kesenjangan gender yang paling ekstrem selama era Joseon adalah larangan bagi seorang janda untuk menikah lagi.

“Sedangkan untuk pria, pernikahan kembali tidak hanya dimungkinkan setelah istri mereka meninggal, tetapi mereka diizinkan untuk memiliki selir bahkan ketika istri mereka masih hidup,” jelas Shin. 

Tidak hanya itu, sang istri juga tidak boleh merasa cemburu terhadap selir-selirnya. Apabila istri kedapatan cemburu, maka sah bagi sang suami untuk menceraikannya.