Badai Es dalam Sejarah Dunia yang Bunuh Ribuan Prajurit Inggris

By Galih Pranata, Rabu, 7 Februari 2024 | 14:00 WIB
Edmund Evans mengukir di kanvas tentang 'chronicles of England' menggambarkan Edward III yang meminta perdamaian. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Perang demi perang jadi hal yang tak pernah lepas dari bagian sejarah dunia. Sepanjang perjalanan perang, selalu terdapat kisah menarik sekaligus dramatis di sebaliknya. Sebut saja Perang Seratus Tahun yang fenomenal.

Perang Seratus Tahun dalam catatan sejarah dunia, disebut-sebut meletus akibat serangkaian konflik militer antara Prancis dan Inggris yang dimulai pada tahun 1337. Perang ini ditengarai akibat perebutan warisan tahta Prancis, dan baru benar-benar berakhir pada tahun 1453.

"Perang selama 116 tahun tersebut menyaksikan naik turunnya beberapa raja dan bangsawan," tulis Joanna Gillan kepada Ancient Origins dalam artikelnya Black Monday: The Deadly 14th Century Hailstorm That Killed Over 1000 Soldiers and 6000 Horses, terbitan 30 Juli 2017.

Selama perang itu, Raja Edward III dari Inggris secara aktif berupaya menaklukkan Prancis. Pada bulan Oktober 1359, ia memimpin pasukan penyerang yang terdiri dari 10.000 orang melintasi Selat Inggris menuju Prancis.

Kala itu, Prancis bersikap untuk menghindari konflik langsung dan tetap berlindung di balik tembok pelindung mereka. Sementara, para tentara Inggris di bawah perintah Edward mulai menjarah dan membakar daerah pedesaan Prancis.

Pada tanggal 5 April 1360, Edward memimpin pasukannya ke gerbang Paris, jantung penting bagi Prancis. Mereka mencoba memprovokasi Dauphine dari Prancis (Charles V) untuk terlibat ke dalam pertempuran, namun dia menolak.

Para pasukan Inggris tidak dapat menembus pertahanan Paris yang kokoh. Akibatnya, Edward terpaksa memimpin pasukannya ke gerbang Chartres (sebuah kota di Prancis),  di mana mereka kembali bertemu dengan benteng yang kuat.

Pada Senin tanggal 13 April 1360, tentara Inggris menunggu di luar Chartres sambil berkemah di dataran terbuka. Mereka beristirahat di bawah pendaran bintang dan dingin yang menusuk ke rusuk.

Seketika, suhu turun drastis dan guntur menyala-nyala, menggelegar keras. Seketika angin meniup kencang, badai bersambut. Saat itu, lidah kilat menyambar-nyambar tepat di atas kepala para pasukan Inggris yang sedang berada di alam terbuka.

Ironisnya, kilatan petir itu menyerang dan membunuh dua pemimpin Inggris. Badai itu disebut Black Monday. Dengan cepat kepanikan terjadi di antara para prajurit melihat pemimpin mereka tewas tersambar.

Mereka menyadari tidak punya tempat untuk lari atau mencari perlindungan. Kepanikan itu yang membuat kuda-kuda pun terinjak-injak. Tenda-tenda terkoyak oleh angin kencang dan kereta bagasi berserakan.

Dalam waktu setengah jam, curah hujan ekstrem terasa membunuh. Dinginnya menusuk-nusuk, dan bongkahan-bongkahan es terlempar jauh dari atas langit, menghantam seperti menimpuki prajurit Inggris yang hampir habis akal.