Nationalgeographic.co.id—Sejak zaman batu, manusia telah menciptakan berbagai senjata, baik untuk berburu maupun pertahanan diri. Senjata-senjata awal ini sering kali terbuat dari bahan-bahan alami yang mudah ditemukan, seperti batu, kayu, atau tulang hewan.
Kemudian pada zaman perunggu, pedang muncul untuk pertama kalinya. Masa ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perkembangan senjata manusia. Senjata terus disempurnakan untuk memaksimalkan daya bunuhnya.
Mungkin, puncak dari perkembangan ini adalah pesawat nirawak bersenjata. Ia mampu mengudara di ketinggian selama berjam-jam, sebelum kemudian menembakan rudal mematikan ke sasarannya.
Dengan ini kita dapat melihat, dari batu hingga roket, senjata perang telah berubah dari waktu ke waktu. Beberapa di antaranya menonjol sebagai senjata yang revolusioner karena daya bunuhnya. Apa sajakah itu?
Senapan Mesin Maxim
Abad ke-19 menjadi saksi revolusi dalam teknologi senjata api. Munculnya perkakas mesin memungkinkan presisi yang lebih tinggi dalam produksi senjata.
Sekitar tahun 1884, Hiram Maxim, seorang penemu Inggris, menciptakan sebuah senjata dengan sejumlah inovasi di dalamnya.
Berbagai permasalahan yang terjadi pada senjata pendahulunya, seperti kegagalan tembakan, menjadi lebih jarang terjadi. Maxim juga memanfaatkan hentakan pada senjata untuk meningkatkan laju tembakan.
Senjata ini mampu menyemburkan lebih dari 5000 peluru per menit dengan jarak hampir dua kilometer. Kemampuannya yang tak biasa ini, segera memukau para tentara di Eropa.
Menurut Michael Ray, seorang sejarawan sekaligus pengamat militer, Beberapa senapan versi Maxim digunakan oleh tentara di seluruh eropa di tahun-tahun sebelum Perang Dunia I.
“Versi senapan Maxim ada di mana-mana di Front Barat; ketika dipasangkan dengan taktik infanteri yang sudah ketinggalan zaman, daya bunuhnya sangat mencengangkan,” kata Ray, dalam tulisannya di laman Britannica.
Kehebatan senapan mesin Maxim dapat kita lacak dalam Pertempuran Pertama Somme. Hanya dalam satu hari, lebih dari 20.000 tentara Inggris terbunuh dalam serangan berdarah.
Tentu, senjata satu ini tak boleh dilewatkan ketika membahas senjata paling mematikan di dunia. Dengan hanya memencet tombol, sebuah rudal nuklir bisa diluncurkan dan menghasilkan kehancuran yang luar biasa besar.
“Perkembangan senjata nuklir telah memberi manusia kemampuan untuk menimbulkan peristiwa tingkat kepunahan yang sebelumnya hanya dapat dicapai dengan menabrak asteroid,” kata Ray.
Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, menewaskan 70.000 orang di awal ledakannya. Ribuan lainnya meninggal dalam beberapa bulan dan tahun berikutnya karena luka bakar, keracunan radiasi, serta penyakit-penyakit yang disebabkan oleh paparan radiasi.
Daya ledak Little Boy, bom yang dijatuhkan di Hiroshima, setara dengan sekitar 15 kiloton TNT. Namun kekuatan ini belum ada apa-apanya jika dibanding RS-28 Sarmat Rusia (disebut Satan 2 oleh NATO).
RS-28 Sarmat dikabarkan dapat membawa muatan hingga 2.000 kali lebih kuat dari ledakan Little Boy di Hirosima.
Meskipun perjanjian pembatasan senjata secara drastis mengurangi ukuran persenjataan nuklir, masih ada sekitar 15.000 senjata nuklir di Bumi. Lebih dari 90 persen dari senjata tersebut dimiliki oleh Amerika Serikat dan Rusia.
Senjata Biologis
Dalam sejarah konflik bersenjata, penyakit sering kali merenggut lebih banyak nyawa daripada pertempuran.
Dimulai pada tahun 1346, para pembela Genoa di Kaffa (sekarang Feodosiya, Ukraina) bertahan dari pengepungan Mongol yang berlangsung selama lebih dari satu tahun.
Ray menjelaskan, ketika penyakit mulai melanda pasukan pasukan pengepung, bangsa Mongol justru memanfaatkannya sebagai senjata. Mereka melemparkan mayat-mayat yang terserang wabah ke tembok kota.
“Melarikan diri dari wabah yang segera mengakar di kota, orang-orang Genoa secara tidak sengaja membawa wabah ke Eropa; antara tahun 1347 dan 1351, Maut Hitam merenggut 25 juta nyawa,” jelas Ray.
Pada tahun 1925, Protokol Jenewa telah melarang penggunaan senjata biologis. Namun, pada masa Perang Dunia II, Jepang memang menggunakan senjata biologis di Tiongkok. Mereka juga melakukan program eksperimen biologis yang kejam dan tidak bermoral di wilayah yang dikuasainya.
Api Yunani
Meskipun berasal dari dunia kuno, api Yunani tak boleh terlewatkan dalam pembahasan senjata paling mematikan. Ia merupakan senjata paling dahsyat di masa Kekristenan selama lebih dari tujuh abad..
Api Yunani pertama kali digunakan dalam perang Bizantium pada tahun 678 Masehi. Konon api yang disemburkan sulit untuk dipadamkan, sekalipun di dalam air.
Karena kemampuannya yang sangat kuat, resep untuk menciptakan senjata ini sangat rahasia dan dijaga ketat. Bahkan hingga saat ini, api Yunani menjadi teka-teki di kalangan para ahli.
Versi modern dari api Yunani, napalm, pertama kali digunakan selama Perang Dunia II. Penggunaan napalm yang paling terkenal adalah pada pengeboman Sekutu terhadap kota-kota Jerman (13-15 Februari 1945 dan Jepang (9-10 Maret 1945).
Ray mengungkapkan, serangan di Dresden, Jerman, menewaskan “sedikitnya 25.000 orang dan menghancurkan salah satu pusat budaya besar di Eropa.”
Sedangkan serangan di Tokyo, Jepang, “menewaskan sedikitnya 100.000 warga sipil (jumlah yang melebihi jumlah korban jiwa di Hiroshima) dan meratakan separuh ibu kota Jepang.”