Begini Rasanya Menjadi Anak-Anak dalam Sejarah Perang Dunia II

By Utomo Priyambodo, Senin, 12 Februari 2024 | 14:00 WIB
Sejarah Perang Dunia II adalah sejarah kelam bagi anak-anak di banyak negara. Lebih dari satu juta orang dievakuasi dari kota-kota besar dan kecil. (Imperial War Museums)

Nationalgeographic.co.id—Sejarah Perang Dunia II adalah sejarah kelam bagi anak-anak di banyak negara, termasuk anak-anak di Inggris. Masa Perang Dunia II adalah masa pergolakan besar bagi anak-anak di Inggris. Lebih dari satu juta orang dievakuasi dari kota-kota besar dan kecil dan harus menyesuaikan diri dengan perpisahan dari keluarga dan teman.

Banyak dari mereka yang tetap tinggal, mengalami serangan bom dan terluka atau kehilangan tempat tinggal. Semua harus menghadapi ancaman serangan perang hingga perubahan di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.

Gangguan dan kekurangan terus berlanjut setelah perang. Lalu pada periode pascaperang terjadi perubahan yang berdampak jangka panjang pada kehidupan anak-anak. Berikut beberapa dampak yang dialami anak-anak akibat sejarah Perang Dunia II.

1. Ancaman perang

Pada tahun 1930-an, kebangkitan Nazisme menjadi ancaman yang semakin besar terhadap perdamaian di Eropa. Inggris mulai bersiap menghadapi kemungkinan perang berikutnya. Ada kekhawatiran bahwa serangan udara dan serangan gas akan dilancarkan terhadap warga sipil, dan rencana rinci untuk Tindakan Pencegahan Serangan Udara (ARP) telah disusun.

Selama Krisis Munich pada tahun 1938, perang tampaknya akan segera terjadi dan beberapa tindakan pencegahan segera dilakukan. Tempat penampungan serangan udara dibagikan kepada para penghuni rumah, pemadaman listrik pada malam hari direncanakan dan 38 juta masker gas dibagikan.

Pengaturan juga dilakukan untuk evakuasi massal anak-anak dari kota. Pada saat ini Inggris juga menjadi rumah bagi 4.000 'Nino', anak-anak yang terjebak dalam perjuangan melawan fasisme di Spanyol.

Sejak Desember 1938, hampir 10.000 anak-anak Yahudi dari Jerman, Austria, dan Cekoslowakia dikirim oleh orang tua mereka ke Inggris dengan 'Kindertransport', untuk menghindari penganiayaan Nazi.

2. Evakuasi

Pada tanggal 1 September 1939, dua hari sebelum perang diumumkan, pemerintah Inggris mulai mengevakuasi anak-anak dari kota-kota besar. Itu adalah pergerakan manusia terbesar yang pernah terjadi di Inggris.

Sebagian besar anak-anak bepergian dengan kereta api bersama sekolah mereka dan tinggal bersama orang tua asuh. Evakuasi merupakan sebuah petualangan bagi sebagian orang yang belum pernah melihat pedesaan, tetapi sebagian lainnya rindu kampung halaman dan tidak bahagia.

Orang tua asuh seringkali terkejut dengan kurangnya kebersihan dan pola makan yang buruk pada anak-anak di kota. Demikian pula, beberapa anak kota mendapati diri mereka tinggal di komunitas pertanian primitif yang terisolasi, tanpa listrik atau air ledeng.

Selama periode awal ini, yang dikenal sebagai 'Perang Palsu', serangan udara yang diperkirakan justru tidak terjadi dan banyak pengungsi yang pulang. Namun invasi Prancis dan dimulainya serangan udara ke Inggris menyebabkan gelombang evakuasi kedua, termasuk ribuan anak-anak yang dikirim ke luar negeri ke Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan.

Banyak anak di Inggris terpaksa harus dievakuasi dan diungsikan ke tempat lebih aman selama sejarah Perang Dunia II berlangsung. (Imperial War Museums)

3. Serangan udara

Sejak September 1940 angkatan udara Jerman memulai pengeboman malam hari di kota-kota di seluruh Inggris. Pada awal periode Blitz, London diserang selama 57 malam berturut-turut dan kemudian terjadi serangan besar-besaran di kota-kota besar dan pelabuhan lainnya.

Selama periode Blitz, 7.736 anak-anak terbunuh dan 7.622 luka berat. Banyak anak yang menjadi yatim piatu atau kehilangan saudaranya.

Selain menjadi korban penggerebekan, anak-anak juga terlibat dalam upaya bantuan. Mereka yang berusia di atas 16 tahun, termasuk Girl Guides dan Boy Scouts, membantu layanan Air Raid Precautions (ARP), (yang kemudian dikenal sebagai Pertahanan Sipil) selama serangan udara, bertindak sebagai pembawa pesan, pengamat kebakaran, atau bekerja dengan layanan sukarela.

Pekerjaan ini bisa sangat berbahaya dan banyak yang terbunuh saat bertugas. Pengeboman terus berlanjut sepanjang perang, dan pada tahun 1944 senjata baru, bom terbang V1 dan roket V2, menyebabkan lebih banyak kerusakan dan korban jiwa.

Sejarah Perang Dunia II adalah sejarah kelam bagi anak-anak yang harus menyaksikan rumah mereka hancur dan harus berpindah tempat tinggal. (Imperial War Museums)

4. Menghuni rumah masa perang

Standar perumahan masa perang di Inggris berkisar dari perumahan kumuh yang bobrok hingga rumah megah. Sebagian besar keluarga masih memiliki toilet di luar dan tidak memiliki kamar mandi. Anak-anak sering kali berbagi tempat tidur dengan saudara laki-laki atau perempuan atau orang tuanya.

Selama perang, lebih dari 200.000 rumah hancur total akibat pemboman musuh. Banyak anak yang harus pindah lokasi beberapa kali, sering kali ke rumah darurat prefabrikasi atau rumah pengungsian. Secara keseluruhan, 34 juta perubahan alamat terjadi selama perang.

5. Sekolah

Perang mengganggu pendidikan banyak anak. Evakuasi massal pada tahun 1939 mengganggu sistem sekolah selama berbulan-bulan dan lebih dari 2.000 gedung sekolah diambil alih untuk digunakan dalam perang. Satu dari lima sekolah rusak akibat pemboman, dan serangan udara sering kali menghentikan pelajaran selama berjam-jam, sehingga menyebabkan penurunan jumlah siswa yang hadir.

Meskipun banyak sekolah dievakuasi selama perang, beberapa sekolah lain memilih untuk tetap buka dan 'memanfaatkan sumber daya sebaik-baiknya', mengubah gudang bawah tanah dan ruang bawah tanah menjadi ruang kelas darurat. Persediaan guru, buku, kertas, dan peralatan semuanya terbatas.

Sejarah Perang Dunia II menciptakan kondisi keterbatasan pendidikan bagi anak-anak. (Imperial War Museums)

6. Bekerja

Selama perang, banyak anak berusia antara 14 dan 17 tahun bekerja penuh waktu. Mereka bekerja di bidang pertanian, perkantoran dan industri besar seperti teknik, produksi pesawat terbang, pembuatan kapal dan pembuatan kendaraan.

Sejak tahun 1941, semua orang yang berusia antara 16 dan 18 tahun diharuskan mendaftar untuk suatu bentuk dinas nasional, meskipun mereka memiliki pekerjaan penuh waktu. Anak laki-laki menerima surat panggilan mereka untuk angkatan bersenjata ketika mereka berusia 18 tahun dan anak perempuan juga diwajibkan wajib militer, baik untuk bergabung dengan salah satu layanan tambahan perempuan atau melakukan pekerjaan perang penting lainnya.

Anak-anak yang lebih kecil diharapkan melakukan bagian mereka dengan menyelamatkan besi tua, kertas, kaca, dan sisa makanan untuk didaur ulang. Mereka juga menggalang dana untuk membeli amunisi, merajut 'kenyamanan' bagi pasukan, dan didorong untuk 'Menggali Kemenangan' di kebun dan lahan.

7. Bermain

Meski dalam kondisi masa perang, anak-anak masih punya waktu untuk bermain dan hiburan. Bioskop populer di kalangan remaja dan anak kecil.

Lokasi bom menjadi area bermain yang menggoda dan tempat berburu suvenir pecahan peluru, dan mainan serta permainan bertema masa perang sangat populer, biasanya buatan sendiri karena kekurangan pada masa perang. Komik dan buku, seperti novel Kapten W E Johns tentang 'Biggles' dan 'Worrals of the Women's Auxiliary Air Force' (WAAF), juga berfokus pada eksploitasi heroik dan petualangan masa perang.

Kedatangan sejumlah besar tentara Amerika (dikenal sebagai GI) dan penerbang pada tahun 1942 merupakan perkembangan yang menarik dan untuk pertama kalinya membawa budaya Amerika kepada anak-anak Inggris. Para prajurit Amerika bermurah hati dengan memberikan coklat dan permen karet yang tidak dijatah, serta mengadakan pesta dan tarian anak-anak di markas mereka.

8. Berakhirnya perang

Sejarah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, setelah Jerman menyerah dan kemudian Jepang. Hari Kemenangan di Eropa (VE Day) dirayakan pada tanggal 8 Mei, dan kemenangan atas Jepang pada tanggal 15 Agustus.

Pada VE Day ada ribuan pesta jalanan, parade pakaian mewah, dan api unggun yang diadakan di seluruh negeri. Meskipun makanan masih dijatah, upaya besar telah dilakukan untuk menyediakan makanan bagi anak-anak. Peristiwa serupa terjadi dalam skala yang lebih kecil setelah Jepang menyerah.

Setelah perang berakhir, kehidupan keluarga tetap terganggu selama berbulan-bulan, dan terkadang lebih lama. Para pengungsi yang tadinya tinggal di negara tersebut kini bergabung kembali dengan keluarga mereka setelah bertahun-tahun berpisah.

Para ayah yang kembali dari militer atau dari kamp tawanan perang (POW), tampak seperti orang asing bagi anak-anak yang belum pernah mengenal mereka. Dan bagi anak-anak yang kehilangan orang tua atau orang-orang tercinta, atau kehilangan tempat tinggal akibat perang, kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.

9. Masa Damai

Kemenangan telak Partai Buruh dalam Pemilihan Umum tahun 1945 membuka jalan bagi reformasi baru untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan anak-anak. Berdasarkan usulan dalam Laporan Beveridge tahun 1942, Layanan Kesehatan Nasional diperkenalkan pada tahun 1948, memberikan layanan kesehatan gratis kepada semua orang. Tunjangan Keluarga dibentuk dan sekolah menengah tersedia untuk semua anak di atas 11 tahun.

Namun, masih terjadi penghematan besar-besaran. Kekurangan penjatahan makanan dan bahan bakar terus berlanjut dan penjatahan baru berakhir pada tahun 1954.

Meskipun beberapa 'Kota Baru' direncanakan di seluruh negeri dan perumahan yang rusak akibat bom dibangun kembali secara bertahap, banyak keluarga masih tinggal di rumah 'prefabrikasi' darurat.

Namun terlepas dari kekurangan dan kesulitan yang ada, kondisi kesejahteraan yang baru dan peluang ekonomi yang semakin besar memberikan harapan akan masa depan yang lebih cerah dan sejahtera bagi anak-anak di Inggris pascaperang.