Sejarah Islam, Salat Dipengaruhi Ragam Tradisi Ibadah Timur Tengah

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 13 Maret 2024 | 07:00 WIB
Cahaya kirana menerangi Kota Yerusalem, kota suci bagi Islam, Kristen, dan Yahudi. (Thinkstockphotos)

Nationalgeographic.co.id—Sebagai ritual keagamaan, salat lima waktu menjadi kewajiban bagi umat muslim di seluruh dunia. Gerakan dari niat hingga tahiyat ini diwajibkan setelah Nabi Muhammad (skt. 570-632 M) melakukan isra mikraj yang diperingati setiap 27 Rajab dalam kalender Hijriah.

Meski merupakan ibadah wajib untuk muslim, gerakan salat yang melibatkan rukuk dan sujud sudah dilakukan sejak lama dalam peradaban manusia. Gerakan sembahyang ini dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan di Timur Tengah pra-Islam.

Hal itu diungkap oleh Justin Paul Hienz dalam tesisnya di Faculty of the Graduate School at the University of Missouri-Columbia bertajuk "The Origins of Muslims Prayer: Sixth and Seventh Century Religious Influences on the Salat Ritual".

Hienz berpendapat, gerakan sembahyang dipengaruhi baik dari segi tata cara, gerakan, maupun cara memandang tujuannya kepada Tuhan. Semuanya itu disatukan dari tradisi Yahudi, Zoroaster, Kristen, dan tradisi asli Jazirah Arab itu sendiri.

Ada pula praktik wudu--mencuci sebagian tubuh sebelum salat--dipengaruhi oleh praktik Yahudi dan Zoroaster. "Sujud kemungkinan besar merupakan pengaruh dari tradisi asli Arab dan bukan dari tradisi Yahudi dan Kristen," ungkap Hienz.

Kehadiran gerakan salat dalam ibadah muslim tidak lepas dari sejarah negeri Arab yang berkembang. Pada abad kelima dan keenam, Semenanjung Arab ramai berkat jalur perdagangan yang membuka kontak dengan peradaban di sekitarnya.

Di utara, terdapat Syam, Mesopotamia tempat Kekaisaran Persia wangsa Sasaniyah, dan Palestina yang dikuasai oleh Kekaisaran Romawi Timur.

Jalur perdagangan di Arab menghubungkan neger-negeri makmur ini ke selatan, terhubung dengan peradaban agrikultur di Yaman. Tentunya, jalur ini memberi keuntungan pada kota-kota kecil yang dilaluinya, termasuk Yatsrib (nama Madinah lawas) dan Makkah.

Hal ini memungkinkan Nabi Muhammad, termasuk masyarakat Arab, memiliki pengetahuan tentang tradisi Ibrahim. Pengetahuan ritual keagamaan Yahudi dan Ibrahim ini bisa diketahuinya tanpa harus ke Yerusalem di Palestina, ungkap Hienz.

Nabi Muhammad juga seorang pedagang yang sejak kecil telah menyisiri jalur perdagangan sampai ke Syam. Ketika sudah menikah, Nabi Muhammad bahkan tetap menjalin urusan perdagangannya sampai ke Suriah. Jalur ini memungkinkan Nabi Muhammad dan pedagang Arab lainnya, mengetahui tradisi keagamaan yang sudah ada di Syam dan Mesopotamia.

Pengaruh Yahudi terhadap salat

Hal yang paling mencolok dari salat adalah wudu dan sujud yang diyakini dipengaruhi tradisi Yahudi.Dalam aktivitas sembahyang, pemeluk agama Yahudi menyembah Tuhan di sinagog meniru kebiasaan yang berlaku di Bait Suci. 

Umat Yahudi mencuci sebagian anggota tubuh mereka sebelum beribadah di Bait Suci. Hal ini pun berlaku ketika Bait Suci hancur, memaksa umat Yahudi beribadah di sinagog.

"Namun, setelah penghancuran Bait Suci, metode ritual pembersihan berubah. Dalam doa sinagoga (atau doa Yahudi lainnya, menurut hukum ritual), pembersihan seluruh tubuh direduksi menjadi mencuci tangan dengan air," terang Hienz.

Peraturan menjaga kebersihan ini berasa dari Taurat. Salah satunya termaktub dalam Keluaran 30:19 yang menceritakan Harun dan anak-anaknya membasuh tangan dan kaki dengan air.

Demikian pula dengan sujud. Hienz mengungkapkan ada banyak praktik sujud dalam cerita dan ketentuan kitab suci.  Dalam Tanakh, sujud sebagai tanda hormat. "Hal ini ditemukan dalam kaitannya dengan Yahweh dan fitur otoritas seperti raja atau Nabi," jelas Hienz.

Beberapa tokoh yang melakukannya, menurut Tanakh, antara lain Daud ketika membangun Bait Suci, dan Musa yang sujud kepada Tuhan karena umatnya yang tersesat menyembah sapi betina.

Ada pun keharusan sujud sebagai ibadah Yahudi kuno. Sujud ini harus dilakukan dalam doa pagi dan sore setiap harinya yang disebut Tahanun (permohonan). Ibadah ini berasal dari Talmud periode Babilonia. Perlahan-lahan, ibadah ini ditinggalkan.

"Mengingat kriteria pengaruh sinkretis, tampak jelas bahwa ada beberapa kasus di mana praktik ritual Yahudi memengaruhi penggunaan salat oleh Muhammad dan para pengikutnya. Dalam hal kontak, umat Islam awal mempunyai banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan komunitas Yahudi," jelas Hienz.

Pengikut Nabi Muhammad, pada awal perkembangan Islam, setidaknya berjumpa dengan dua komunitas Yahudi: Yatsrib dan Yaman.

Ibadah Kekristenan

Hienz berpendapat, ada banyak unsur Kekristenan Timur Tengah yang serupa dengan salat. Salah satu yang berpengaruh adalah ibadah pemeluk Kekristenan di Suriah-Palestina.

Peziarah Ortodoks Timur melakukan sujud di Golgota di Gereja Makam Suci, Yerusalem. (Wikimedia Commons)

Masyarakat Kekristenan Suriah-Palestina percaya bahwa sembahyang merupakan "ekspresi dan kepercayaan kepada Tuhan untuk menghadapi cobaan yang tidak dapat ditanggung." Hal ini selaras dengan konsep sembahyang umat Islam sebagai ketundukan kepada Tuhan.

"Namun, setidaknya ada satu perbedaan mencolok antara sembahyang monastik Kristen dan Muslim. Salat berorientasi pada sujud. Sembahyang monopisit dilakukan dalam posisil salib," terang Hienz. Peribadatan ini mengacu pada catatan kuno Suriah, Ode Salomo.

"Tidak adanya posisi-posisi ini dalam Islam menunjukkan bahwa, dalam kaitannya dengan Suriah, tidak ada pengaruh terhadap posisi tubuh dalam shalat umat Islam," lanjutnya.

Masyarakat Kekristenan di Suriah-Palestina memiliki kebiasaan memasang lukisan atau figur Yesus Kristus di timur bangunan. Mereka beribadah dan berdoa menghadap ke timur, sebagai karena diyakini di sanalah letak “tempat tinggal Yang Terberkati” dan akan kembali ke Bumi.

"Hal ini memengaruhi salat Muhammad, meski kemudian arahnya diubah ke Kakbah di Mekah. Hal yang penting di sini bukan hanya bahwa umat Kristen di Suriah menghadapi arah yang berbeda dari Yahudi dan kemudian Muslim, namun juga tujuannya berbeda," tulis Hienz.

Lima kali sehari: ibadah Zoroaster

Ketika Nabi berdakwah, Kekaisaran Persia di bawah wangsa Sasaniyah menganut Zoroaster. Pengaruh agama ini sangat kuat, baik dari segi praktik maupun teologi keimanan. Ajaran Zoroaster mengharuskan pemeluk agamanya untuk berdoa lima kali sehari oleh kalangan awam. Sedangkan elite pendeta akan memiliki ragam runtutan ritual.

Hienz menjelaskan, lima kali dalam ibadah Zoroaster ini ditentukan dalam waktu sepanjang hari, yakni fajar, siang, matahari terbenam, matahari tenggelam tanpa cahaya sampai tengah malam, dan di antara tengah hingga fajar.

Sembahyang ini dilakukan dengan menghadap arah cahaya, baik itu dari matahari atau dari api perapian yang disucikan. Ibadah ini pun memiliki ketentuan, mulai dari membersihkan diri dengan cuci muka, tangan, dan kaki, dilanjutkan dengan menghadap tempat berdoa, sampai mengucapkan doa-doa tertentu.

Dalam kasus Zoroastrianisme yang mempengaruhi salat, kriterianya terpenuhi. Dari konteks sejarah yang diberikan, diketahui bahwa para pedagang dan juga penduduk Semenanjung Arab lainnya berhubungan dengan rakyat dan penguasa Sasaniyah," terang Hienz.

"Hal ini tidak mengherankan mengingat ukuran dan kekuatan kekaisaran. Ia memiliki hubungan dengan Himyar dan kepentingan dalam jalur perdagangan yang melintasi semenanjung.

Nabi Muhammad pun diketahui memiliki beberapa sahabat yang berasal dari Persia, salah satunya Salman al Farisi. Sirah al Nabawiyah, karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri mengungkapkan, Salman berasal dari keluarga terpandang yang ayahnya hendak mengangkatnya menjadi pendeta kuil api.

Ketika masuk Islam, Salman sangat dekat dengan Nabi, terutama dalam Pertempuran Ahzab. Dia memperkenalkan berbagai ragam kebudayaan tradisi Persia, termasuk pembuatan selokan untuk menghadang musuh.

Pengaruh kebudayaan Arab dan lingkungan Nabi Muhammad

Meski demikian, tradisi salat bukan berarti diimpor dari kebudayaan non-Arab. "Tradisi keagamaan asli Jazirah Arab tentu saja mempengaruhi Muhammad dan para pengikutnya. Muhammad adalah anggota Quraisy, yang merupakan penjaga tempat suci Kakbah," terang Hienz.

Sebelum Islam muncul, penduduk Arab di Makkah menyembah dewa-dewi seperti Uzza, Hubal, Latta, dan Manat. Periode ini disebut sebagai jahilyah. Masyarakat Arab pra-Islam juga sebenarnya menyembah Allah, sebutan Tuhan yang sama dengan muslim. Allah dianggap sebagai dewa tertinggi yang anak-anaknya adalah Latta, Manat, dan Uzza.

Untuk mengetahui kegiatan keagamaan, hanya ada sedikit catatan sejarah tentang masyarakat pra-Islam. Hienz berpendapat, kemungkinan ada pengaruh sinkretis terhadap salat dari kebiasaan orang Arab pra-Islam.

Petunjuk lain berasal dari ragam grafiti pra-Islam di situs utara Hijaz. Grafiti ini ditinggalkan oleh kalangan Arab Baduy yang menyebutkan "tempat sujud" (masjid).

Hienz menulis, "sujud disebutkan sama sekali dalam grafiti yang mendahulukan praktik tersebut, namun hal tersebut tidak sepenuhnya membuktikan bahwa sujud dipraktikkan dalam kaitannya dengan sistem kepercayaan tradisional."

Akan tetapi, praktik ini berbeda penerapannya dalam agama Islam. Umat muslim akan sujud dengan menghadap kiblat, Kakbah di Makkah. Sementara masyarakat Arab pra-Islam tidak, karena meski Kakbah juga disucikan, tidak semua berhala dewa yang disembah ada di dalamnya.

Ada banyak yang mendorong kemunculan gerakan salat. Inspirasi mungkin memengaruhi sejarah salat sebagai pertalian antarperadaban yang terjadi di Arab semasa Nabi Muhammad. Ada banyak ritual yang telah tiada, namun bisa digali kembali sejarahnya berkat asal-usul salat.

Di satu sisi, inspirasi unsur gerakan, tata cara, dan cara pandang yang dipadukan ini membuat salat sebagai ritual sembahyang baru.