Bagaimana Agama Islam Mempengaruhi Hukum di Kekaisaran Ottoman?

By Tri Wahyu Prasetyo, Senin, 19 Februari 2024 | 16:00 WIB
Hukum dan agama di Kekaisaran Ottoman terkait erat selama lebih dari enam ratus tahun. (Via The Collector)

Namun karya-karya yang lebih baru telah membantah tesis tersebut, dan menyebutnya tidak komprehensif.

Terlepas dari itu, Greg menjelaskan, “pada saat para penguasanya telah memantapkan kekuasaan mereka di Turki dan Mediterania, Kekaisaran Ottoman tidak dapat dipisahkan dari Islam Sunni.”

Hukum Kekaisaran Ottoman: Syariah dan Kanun

Meskipun syariah menjadi landasan hukum Kekaisaran Ottoman, namun ia bukan satu-satunya sumber. 

Greg menjelaskan, terdapat suatu aturan yang lebih sekuler, dikenal sebagai kanun, untuk melengkapi syariah di Kekaisaran Ottoman.

Sultan berperan untuk menegakkan dan mengimplementasikan peraturan kanun, selama peraturan tersebut sesuai dengan Syariah,” jelas Greg.

Aturan-aturan kanun Kekaisaran Ottoman yang paling bertahan lama disusun pada akhir abad ke-16. Sultan Mehmed II (memerintah 1451-1481) dan Suleiman I (memerintah 1520-1566) berperan penting dalam mengukuhkan kanun.

Non-Muslim dalam Kekaisaran Ottoman

Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah selalu menerima pengungsi tanpa memandang agama mereka. Ini karena sesuai tradisi kuno Ottoman dan ajaran Islam. (Public Domain via Rawpixel)

Islam Sunni bukanlah satu-satunya agama yang dipraktikkan di Kekaisaran Ottoman. Ajaran mistik Islam, yang dikenal sebagai tasawuf, sangat populer selama kekaisaran ini berdiri.

Agama-agama non-Muslim seperti Kristen dan Yahudi juga menempati bagian dari lingkungan keagamaan Kekaisaran Ottoman. Mayoritas umat Kristen Ottoman mengikuti cabang agama Ortodoks Timur.

Hukum Islam menganggap orang Yahudi dan Kristen sebagai "Ahli Kitab”–pengikut agama monoteistik yang lebih tua, kitab sucinya mendahului Islam.