Bagaimana Agama Islam Mempengaruhi Hukum di Kekaisaran Ottoman?

By Tri Wahyu Prasetyo, Senin, 19 Februari 2024 | 16:00 WIB
Hukum dan agama di Kekaisaran Ottoman terkait erat selama lebih dari enam ratus tahun. (Via The Collector)

Namun, Greg menjelaskan, orang-orang non-muslim masih menjadi warga negara kelas dua dalam masyarakat Ottoman

“Hukum Utsmaniyah mengharuskan orang Yahudi dan Kristen (dikenal sebagai Dhimmi) untuk membayar pajak khusus, yang disebut jizyah, sebagai imbalan atas keamanan,” jelas Greg.

Di Eropa tenggara yang dikuasai Ottoman, anak laki-laki dari keluarga Kristen dapat diculik dan menjalani wajib militer untuk menjadi pasukan elit Janissary. Hal ini dikenal sebagai sistem devshirme.

Militer Ottoman akan mengislamkan para pemuda tersebut, dan mereka akan bertugas langsung di bawah Sultan. Mereka menerima upah yang lebih tinggi dari rata-rata untuk pekerjaan rakyat jelata umumnya.

Anggota Janissari direkrut melalui sistem devşirme di mana anak laki-laki Kristen berusia antara delapan dan 10 tahun diambil dari keluarga mereka. (Public Domain/ Wikimedia Commons)

Mereka mungkin menjadi warga negara kelas dua, namun komunitas Yahudi dan Kristen di Kekaisaran Ottoman memiliki tingkat otonomi yang cukup tinggi dari pemerintah pusat. 

Perlakuan Kekaisaran Ottoman terhadap agama-agama minoritas juga mungkin tidak terlalu kejam dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan di Eropa Barat.

Ketika Raja-raja Katolik di Spanyol mengusir ribuan orang Yahudi dari negara mereka pada tahun 1492, beberapa di antaranya menetap di Kekaisaran Ottoman.

Di sisi lain, perlakuan Ottoman terhadap umat Kristen Ortodoks sangat kompleks. Sebagai contoh, sistem devshirme hanya berlaku bagi umat Kristen di wilayah Balkan, sedangkan di wilayah Turki atau Levant, tidak berlaku. 

Kekaisaran Ottoman juga lebih banyak menindak situs-situs keagamaan Kristen di kota-kota daripada gereja-gereja di daerah pedesaan. Kekhawatiran pihak berwenang mungkin lebih kepada politik kekuasaan dan proyeksi superioritas sosial daripada doktrin agama yang ketat.

Sultan Ottoman ke-7, Mehmed II, mengangkat Patriark Ekumenis Konstantinopel menjadi pemimpin spiritual bagi seluruh umat Kristen Ortodoks.

Karena gereja-gereja Ortodoks terdesentralisasi dan tidak memiliki figur pemimpin tunggal, ini adalah langkah yang diperhitungkan. 

Hal ini memungkinkan sultan berurusan dengan satu figur pemimpin Kristen yang dapat mewakili seluruh umat Kristen Ortodoks di wilayah kekaisaran yang terdesentralisasi pada saat itu.

Namun, upaya Kekaisaran Ottoman untuk menjalin hubungan harmonis dengan institusi Kristen tidaklah mudah.

Pada awal abad ke-19, nasionalisme regional bermunculan di seluruh wilayah kekaisaran. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Ortodoks seperti Yunani dan Balkan. 

Takut kehilangan tanah mereka, pemerintah Ottoman beralih ke metode baru–lenish represif–dalam menangani agama-agama minoritas.